tag:blogger.com,1999:blog-19456485904219237182023-11-15T10:26:52.184-08:00iman abdulAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-18428404101378951172012-09-16T05:39:00.001-07:002012-09-16T05:39:41.813-07:00KABUPATEN LAMPUNG SELATANBlog ini memuat data Kabupaten Lampung Selatan, Peraturan-Peraturan Pemerintah, Lingkungan Hidup dan Masih Banyak Lagi yang lainnya...
SEMOGA BERMANFAAT BUAT KITA SEMUA..... AAMIIN
Untuk tau lebih banyak, klik di <a href="http://iman2710.blogspot.com/">SINI</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-61352436359290015892012-09-16T00:09:00.001-07:002012-09-16T00:09:52.515-07:00INFLASI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN (KOTA KALIANDA) TAHUN 2012 (Bulan Februari s.d Juli)https://sites.google.com/site/imanabdullah2710/inflasi
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN (KOTA KALIANDA) TAHUN 2012 (Bulan Februari s.d Juli), Mengalami DEFLASI dan INFLASI yang berbeda-beda besarannya di setiap Bulannya. Untuk lebih jelasnya dapat di download dengan cara, klik di <a href="https://sites.google.com/site/imanabdullah2710/inflasi">SINI</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-16579394891053215782012-09-15T20:59:00.003-07:002012-09-15T23:32:53.171-07:00LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA (LSDA) TAHUN 2011<a href="http://www.ziddu.com/download/20359391/LSDA2011.pdf.html"></a>
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA (LSDA) TAHUN 2011. Untuk download, klik di <a href="https://sites.google.com/site/imanabdullah2710/lampung-selatan">SINI</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-48042162515361751482012-09-15T20:20:00.001-07:002012-09-15T23:33:15.340-07:00LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA (LSDA) TAHUN 2010<a href="http://www.ziddu.com/download/20359180/LSDA2010.pdf.html"></a>
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA (LSDA) TAHUN 2010. Untuk download, klik di <a href="https://sites.google.com/site/imanabdullah2710/lampung-selatan">SINI</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-21572401804025982352012-09-15T20:02:00.001-07:002012-09-15T23:34:02.400-07:00LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA TAHUN 2009href="http://www.ziddu.com/download/20359151/LSDA2009.pdf.html"></a>
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA (LSDA) TAHUN 2009. Untuk download, klik di <a href="https://sites.google.com/site/imanabdullah2710/lampung-selatan">SINI</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-17048799378985270502012-09-15T19:47:00.002-07:002012-09-15T23:34:26.588-07:00LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA TAHUN 2008<a href="http://www.ziddu.com/download/20359115/LSDA2008.pdf.html"></a>
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM ANGKA (LSDA) TAHUN 2008. Untuk download, klik di <a href="https://sites.google.com/site/imanabdullah2710/lampung-selatan">SINI</a>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-63949995299442080832012-09-15T19:31:00.002-07:002012-09-15T23:55:40.501-07:00Standar Pelayanan Minimum Bidang Lingkungan Hidup<a href="http://www.ziddu.com/download/20358922/RP-SPMBIDANGLH.ppt.html"></a>
Standar Pelayanan Minimum (SPM)Bidang Lingkungan Hidup Tahun 2012. Untuk download, klik di <a href="https://sites.google.com/site/imanabdullah2710/ling-hidup-lam-sel">SINI</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1945648590421923718.post-51235404903732917132012-09-12T05:58:00.002-07:002012-09-15T08:29:11.127-07:00UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiduo<br />
<span style="color: black;"><a href="http://www.blogger.com/"></a><span id="goog_851883002"></span><span id="goog_851883003"></span></span><br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
NOMOR 32 TAHUN 2009<br />
<br />
TENTANG<br />
<br />
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP<br />
<br />
<br />
<br />
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />
<br />
<br />
<br />
Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat<br />
merupakan hak asasi setiap warga negara<br />
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal<br />
28H Undang-Undang Dasar Negara Republik<br />
Indonesia Tahun 1945;<br />
<br />
b. bahwa pembangunan ekonomi nasional<br />
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang<br />
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945<br />
diselenggarakan berdasarkan prinsip<br />
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan<br />
lingkungan; <br />
<br />
c. bahwa semangat otonomi daerah dalam<br />
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan<br />
Republik Indonesia telah membawa perubahan<br />
hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan<br />
pemerintah daerah, termasuk di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;<br />
<br />
d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin<br />
menurun telah mengancam kelangsungan<br />
perikehidupan manusia dan makhluk hidup<br />
lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan<br />
dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku<br />
kepentingan;<br />
<br />
e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat<br />
mengakibatkan perubahan iklim sehingga<br />
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup<br />
karena itu perlu dilakukan perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup;<br />
f. bahwa . . .<br />
<br />
<br />
- 2 -<br />
f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum<br />
dan memberikan perlindungan terhadap hak<br />
setiap orang untuk mendapatkan lingkungan<br />
hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari<br />
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,<br />
perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup; <br />
<br />
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana<br />
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf<br />
d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk<br />
Undang-Undang tentang Perlindungan dan<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup;<br />
<br />
<br />
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal<br />
33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar<br />
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />
<br />
<br />
Dengan Persetujuan Bersama<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />
dan<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
<br />
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN<br />
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.<br />
<br />
<br />
BAB I<br />
KETENTUAN UMUM<br />
<br />
Pasal 1<br />
<br />
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:<br />
<br />
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan<br />
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,<br />
termasuk manusia dan perilakunya, yang<br />
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan<br />
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta<br />
makhluk hidup lain. <br />
<br />
2. perlindungan . . .<br />
<br />
<br />
- 3 -<br />
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
adalah upaya sistematis dan terpadu yang<br />
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan<br />
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang<br />
meliputi perencanaan, pemanfaatan,<br />
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan<br />
penegakan hukum. <br />
<br />
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar<br />
dan terencana yang memadukan aspek lingkungan<br />
hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi<br />
pembangunan untuk menjamin keutuhan<br />
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,<br />
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini<br />
dan generasi masa depan.<br />
<br />
4. Rencana perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat<br />
RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat<br />
potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya<br />
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun<br />
waktu tertentu. <br />
<br />
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan<br />
hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam<br />
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan<br />
produktivitas lingkungan hidup. <br />
<br />
6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah<br />
rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan<br />
daya dukung dan daya tampung lingkungan<br />
hidup. <br />
<br />
7. Daya dukung lingkungan hidup adalah<br />
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung<br />
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan<br />
keseimbangan antarkeduanya. <br />
<br />
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah<br />
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap<br />
zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk<br />
atau dimasukkan ke dalamnya. <br />
<br />
9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan<br />
hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan<br />
nonhayati yang secara keseluruhan membentuk<br />
kesatuan ekosistem. <br />
10. Kajian . . .<br />
<br />
<br />
- 4 -<br />
10. Kajian lingkungan hidup strategis, yang<br />
selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian<br />
analisis yang sistematis, menyeluruh, dan<br />
partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip<br />
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar<br />
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu<br />
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau<br />
program. <br />
<br />
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang<br />
selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian<br />
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau<br />
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan<br />
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan<br />
keputusan tentang penyelenggaraan usaha<br />
dan/atau kegiatan.<br />
<br />
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya<br />
pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya<br />
disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan<br />
pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan<br />
yang tidak berdampak penting terhadap<br />
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses<br />
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan<br />
usaha dan/atau kegiatan. <br />
<br />
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran<br />
batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau<br />
komponen yang ada atau harus ada dan/atau<br />
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya<br />
dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau<br />
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,<br />
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan<br />
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui<br />
baku mutu lingkungan hidup yang telah<br />
ditetapkan. <br />
<br />
15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah<br />
ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,<br />
dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat<br />
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat<br />
tetap melestarikan fungsinya. <br />
<br />
16. Perusakan . . .<br />
<br />
<br />
- 5 -<br />
16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan<br />
orang yang menimbulkan perubahan langsung<br />
atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,<br />
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga<br />
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan<br />
hidup. <br />
<br />
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan<br />
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat<br />
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup<br />
yang melampaui kriteria baku kerusakan<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan<br />
sumber daya alam untuk menjamin<br />
pemanfaatannya secara bijaksana serta<br />
kesinambungan ketersediaannya dengan tetap<br />
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta<br />
keanekaragamannya. <br />
<br />
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang<br />
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh<br />
aktivitas manusia sehingga menyebabkan<br />
perubahan komposisi atmosfir secara global dan<br />
selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim<br />
alamiah yang teramati pada kurun waktu yang<br />
dapat dibandingkan.<br />
<br />
20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau<br />
kegiatan.<br />
<br />
21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya<br />
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau<br />
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,<br />
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung<br />
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan<br />
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau<br />
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,<br />
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk<br />
hidup lain.<br />
<br />
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang<br />
selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu<br />
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. <br />
<br />
<br />
<br />
23. Pengelolaan . . .<br />
<br />
<br />
- 6 -<br />
23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang<br />
meliputi pengurangan, penyimpanan,<br />
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,<br />
pengolahan, dan/atau penimbunan.<br />
<br />
24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan<br />
membuang, menempatkan, dan/atau<br />
memasukkan limbah dan/atau bahan dalam<br />
jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu<br />
dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan<br />
hidup tertentu.<br />
<br />
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan<br />
antara dua pihak atau lebih yang timbul dari<br />
kegiatan yang berpotensi dan/atau telah<br />
berdampak pada lingkungan hidup. <br />
<br />
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh<br />
perubahan pada lingkungan hidup yang<br />
diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.<br />
<br />
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok<br />
orang yang terorganisasi dan terbentuk atas<br />
kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya<br />
berkaitan dengan lingkungan hidup. <br />
<br />
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang<br />
dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung<br />
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap<br />
persyaratan hukum dan kebijakan yang<br />
ditetapkan oleh pemerintah. <br />
<br />
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki<br />
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna<br />
asli, serta pola interaksi manusia dengan alam<br />
yang menggambarkan integritas sistem alam dan<br />
lingkungan hidup.<br />
<br />
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang<br />
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk<br />
antara lain melindungi dan mengelola lingkungan<br />
hidup secara lestari.<br />
<br />
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok<br />
masyarakat yang secara turun temurun bermukim<br />
di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan<br />
pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang<br />
kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya<br />
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,<br />
politik, sosial, dan hukum.<br />
32. Setiap . . .<br />
<br />
<br />
- 7 -<br />
<br />
<br />
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau<br />
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun<br />
yang tidak berbadan hukum.<br />
<br />
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah<br />
seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong<br />
Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang<br />
ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.<br />
<br />
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak<br />
luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan<br />
keresahan masyarakat.<br />
<br />
35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada<br />
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau<br />
kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam<br />
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin<br />
usaha dan/atau kegiatan.<br />
<br />
36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang<br />
diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan<br />
usaha dan/atau kegiatan.<br />
<br />
37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut<br />
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia<br />
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara<br />
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam<br />
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia<br />
Tahun 1945. <br />
<br />
38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau<br />
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur<br />
penyelenggara pemerintah daerah. <br />
<br />
39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan<br />
urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II . . .<br />
<br />
<br />
- 8 -<br />
BAB II<br />
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP <br />
Bagian Kesatu <br />
Asas<br />
<br />
Pasal 2<br />
<br />
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
dilaksanakan berdasarkan asas:<br />
<br />
a. tanggung jawab negara; <br />
b. kelestarian dan keberlanjutan;<br />
c. keserasian dan keseimbangan; <br />
d. keterpaduan;<br />
e. manfaat;<br />
f. kehati-hatian; <br />
g. keadilan;<br />
h. ekoregion; <br />
i. keanekaragaman hayati; <br />
j. pencemar membayar; <br />
k. partisipatif;<br />
l. kearifan lokal; <br />
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan<br />
n. otonomi daerah.<br />
<br />
<br />
Bagian Kedua <br />
Tujuan<br />
<br />
Pasal 3<br />
<br />
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
bertujuan:<br />
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup; <br />
b. menjamin . . .<br />
<br />
<br />
- 9 -<br />
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan <br />
manusia;<br />
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup<br />
dan kelestarian ekosistem; <br />
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; <br />
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan<br />
keseimbangan lingkungan hidup;<br />
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa<br />
kini dan generasi masa depan;<br />
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas<br />
lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi<br />
manusia;<br />
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam<br />
secara bijaksana;<br />
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan<br />
j. mengantisipasi isu lingkungan global. <br />
<br />
<br />
Bagian Ketiga <br />
Ruang Lingkup <br />
<br />
Pasal 4<br />
<br />
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
meliputi:<br />
a. perencanaan;<br />
b. pemanfaatan;<br />
c. pengendalian;<br />
d. pemeliharaan;<br />
e. pengawasan; dan <br />
f. penegakan hukum.<br />
<br />
<br />
BAB III<br />
PERENCANAAN <br />
<br />
Pasal 5<br />
<br />
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: <br />
a.inventarisasi . . .<br />
<br />
<br />
- 10 -<br />
a. inventarisasi lingkungan hidup; <br />
b. penetapan wilayah ekoregion; dan<br />
c. penyusunan RPPLH.<br />
<br />
<br />
<br />
Bagian Kesatu<br />
Inventarisasi Lingkungan Hidup <br />
<br />
Pasal 6<br />
<br />
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas<br />
inventarisasi lingkungan hidup:<br />
a. tingkat nasional; <br />
b. tingkat pulau/kepulauan; dan<br />
c. tingkat wilayah ekoregion.<br />
<br />
(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk<br />
memperoleh data dan informasi mengenai sumber<br />
daya alam yang meliputi: <br />
a. potensi dan ketersediaan;<br />
b. jenis yang dimanfaatkan; <br />
c. bentuk penguasaan; <br />
d. pengetahuan pengelolaan;<br />
e. bentuk kerusakan; dan<br />
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat<br />
pengelolaan. <br />
<br />
<br />
Bagian Kedua<br />
Penetapan Wilayah Ekoregion<br />
<br />
Pasal 7<br />
<br />
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf<br />
b menjadi dasar dalam penetapan wilayah<br />
ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah<br />
berkoordinasi dengan instansi terkait.<br />
<br />
(2) Penetapan . . .<br />
<br />
<br />
- 11 -<br />
(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan<br />
mempertimbangkan kesamaan:<br />
a. karakteristik bentang alam; <br />
b. daerah aliran sungai; <br />
c. iklim; <br />
d. flora dan fauna; <br />
e. sosial budaya;<br />
f. ekonomi;<br />
g. kelembagaan masyarakat; dan <br />
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
Pasal 8<br />
<br />
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah<br />
ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat<br />
(1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung<br />
dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.<br />
<br />
<br />
<br />
Bagian Ketiga<br />
Penyusunan Rencana Perlindungan <br />
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup<br />
<br />
Pasal 9<br />
<br />
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5<br />
huruf c terdiri atas:<br />
a. RPPLH nasional;<br />
b. RPPLH provinsi; dan<br />
c. RPPLH kabupaten/kota.<br />
<br />
(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) huruf a disusun berdasarkan<br />
inventarisasi nasional.<br />
<br />
(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) huruf b disusun berdasarkan: <br />
a. RPPLH nasional; <br />
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan <br />
c. inventarisasi tingkat ekoregion.<br />
(4) RPPLH . . .<br />
<br />
<br />
- 12 -<br />
(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun<br />
berdasarkan: <br />
a. RPPLH provinsi; <br />
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan <br />
c. inventarisasi tingkat ekoregion.<br />
<br />
<br />
Pasal 10<br />
<br />
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9<br />
disusun oleh Menteri, gubernur, atau<br />
bupati/walikota sesuai dengan<br />
kewenangannya. <br />
<br />
(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) memperhatikan:<br />
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; <br />
b. sebaran penduduk;<br />
c. sebaran potensi sumber daya alam; <br />
d. kearifan lokal; <br />
e. aspirasi masyarakat; dan<br />
f. perubahan iklim.<br />
<br />
(3) RPPLH diatur dengan:<br />
a. peraturan pemerintah untuk RPPLH<br />
nasional;<br />
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH<br />
provinsi; dan<br />
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk<br />
RPPLH kabupaten/kota.<br />
<br />
(4) RPPLH memuat rencana tentang:<br />
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan<br />
sumber daya alam;<br />
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas<br />
dan/atau fungsi lingkungan hidup;<br />
c. pengendalian, pemantauan, serta<br />
pendayagunaan dan pelestarian sumber daya<br />
alam; dan<br />
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan<br />
iklim.<br />
(5) RPPLH . . .<br />
<br />
<br />
- 13 -<br />
(5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat<br />
dalam rencana pembangunan jangka panjang<br />
dan rencana pembangunan jangka menengah. <br />
<br />
<br />
Pasal 11<br />
<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal<br />
10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
<br />
<br />
BAB IV<br />
PEMANFAATAN <br />
<br />
Pasal 12<br />
<br />
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan<br />
berdasarkan RPPLH.<br />
<br />
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber<br />
daya alam dilaksanakan berdasarkan daya<br />
dukung dan daya tampung lingkungan hidup<br />
dengan memperhatikan:<br />
<br />
a. keberlanjutan proses dan fungsi<br />
lingkungan hidup; <br />
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan<br />
hidup; dan<br />
c. keselamatan, mutu hidup, dan<br />
kesejahteraan masyarakat. <br />
<br />
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan<br />
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)<br />
ditetapkan oleh:<br />
<br />
a. Menteri untuk daya dukung dan daya<br />
tampung lingkungan hidup nasional dan<br />
pulau/kepulauan;<br />
b. gubernur . . .<br />
<br />
<br />
- 14 -<br />
b. gubernur untuk daya dukung dan daya<br />
tampung lingkungan hidup provinsi dan<br />
ekoregion lintas kabupaten/kota; atau <br />
<br />
c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya<br />
tampung lingkungan hidup kabupaten/kota<br />
dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara<br />
penetapan daya dukung dan daya tampung<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (3) diatur dalam peraturan<br />
pemerintah.<br />
<br />
<br />
BAB V<br />
PENGENDALIAN<br />
<br />
Bagian Kesatu<br />
Umum<br />
<br />
Pasal 13<br />
<br />
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka<br />
pelestarian fungsi lingkungan hidup. <br />
<br />
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) meliputi:<br />
<br />
<br />
a. pencegahan;<br />
b. penanggulangan; dan<br />
c. pemulihan.<br />
<br />
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,<br />
pemerintah daerah, dan penanggung jawab<br />
usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan<br />
kewenangan, peran, dan tanggung jawab<br />
masing-masing. <br />
<br />
<br />
Bagian Kedua . . .<br />
<br />
<br />
- 15 -<br />
Bagian Kedua<br />
Pencegahan<br />
<br />
Pasal 14<br />
<br />
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:<br />
a. KLHS; <br />
b. tata ruang;<br />
c. baku mutu lingkungan hidup; <br />
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;<br />
e. amdal;<br />
f. UKL-UPL; <br />
g. perizinan;<br />
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup; <br />
i. peraturan perundang-undangan berbasis<br />
lingkungan hidup;<br />
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;<br />
k. analisis risiko lingkungan hidup; <br />
l. audit lingkungan hidup; dan<br />
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan<br />
dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.<br />
<br />
<br />
Paragraf 1<br />
Kajian Lingkungan Hidup Strategis<br />
<br />
Pasal 15<br />
<br />
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib<br />
membuat KLHS untuk memastikan bahwa<br />
prinsip pembangunan berkelanjutan telah<br />
menjadi dasar dan terintegrasi dalam<br />
pembangunan suatu wilayah dan/atau<br />
kebijakan, rencana, dan/atau program. <br />
<br />
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib<br />
melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau<br />
evaluasi:<br />
<br />
<br />
a. rencana . . .<br />
<br />
<br />
- 16 -<br />
a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta<br />
rencana rincinya, rencana pembangunan<br />
jangka panjang (RPJP), dan rencana<br />
pembangunan jangka menengah (RPJM)<br />
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan <br />
<br />
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang<br />
berpotensi menimbulkan dampak dan/atau<br />
risiko lingkungan hidup. <br />
<br />
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:<br />
a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana,<br />
dan/atau program terhadap kondisi<br />
lingkungan hidup di suatu wilayah; <br />
<br />
b. perumusan alternatif penyempurnaan<br />
kebijakan, rencana, dan/atau program; dan <br />
<br />
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan<br />
keputusan kebijakan, rencana, dan/atau<br />
program yang mengintegrasikan prinsip<br />
pembangunan berkelanjutan.<br />
<br />
<br />
Pasal 16<br />
<br />
KLHS memuat kajian antara lain: <br />
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung<br />
lingkungan hidup untuk pembangunan; <br />
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko<br />
lingkungan hidup;<br />
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;<br />
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;<br />
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi<br />
terhadap perubahan iklim; dan<br />
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman<br />
hayati. <br />
<br />
Pasal 17<br />
<br />
(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal<br />
15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan,<br />
rencana, dan/atau program pembangunan<br />
dalam suatu wilayah. <br />
(2) Apabila . . .<br />
<br />
<br />
- 17 -<br />
(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung<br />
dan daya tampung sudah terlampaui, <br />
a. kebijakan, rencana, dan/atau program<br />
pembangunan tersebut wajib diperbaiki<br />
sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan<br />
b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah<br />
melampaui daya dukung dan daya tampung<br />
lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. <br />
<br />
Pasal 18<br />
<br />
(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15<br />
ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan<br />
masyarakat dan pemangku kepentingan.<br />
<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara<br />
penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan<br />
Pemerintah.<br />
<br />
Paragraf 2<br />
Tata Ruang<br />
<br />
Pasal 19<br />
<br />
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan<br />
hidup dan keselamatan masyarakat, setiap<br />
perencanaan tata ruang wilayah wajib<br />
didasarkan pada KLHS. <br />
<br />
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan<br />
memperhatikan daya dukung dan daya<br />
tampung lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
Paragraf 3<br />
Baku Mutu Lingkungan Hidup<br />
<br />
Pasal 20<br />
<br />
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan<br />
hidup diukur melalui baku mutu lingkungan<br />
hidup.<br />
(2) Baku mutu . . .<br />
<br />
<br />
- 18 -<br />
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:<br />
a. baku mutu air; <br />
b. baku mutu air limbah;<br />
c. baku mutu air laut;<br />
d. baku mutu udara ambien;<br />
e. baku mutu emisi; <br />
f. baku mutu gangguan; dan<br />
g. baku mutu lain sesuai dengan<br />
perkembangan ilmu pengetahuan dan<br />
teknologi.<br />
<br />
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang<br />
limbah ke media lingkungan hidup dengan<br />
persyaratan:<br />
<br />
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup;<br />
dan <br />
<br />
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau<br />
bupati/walikota sesuai dengan<br />
kewenangannya.<br />
<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan<br />
huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f<br />
diatur dalam peraturan menteri.<br />
<br />
<br />
Paragraf 4<br />
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup <br />
<br />
Pasal 21<br />
<br />
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan<br />
lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku<br />
kerusakan lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
(2) Kriteria . . .<br />
<br />
<br />
- 19 -<br />
(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup<br />
meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan<br />
kriteria baku kerusakan akibat perubahan<br />
iklim.<br />
<br />
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi: <br />
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk<br />
produksi biomassa; <br />
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;<br />
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup<br />
yang berkaitan dengan kebakaran hutan<br />
dan/atau lahan; <br />
d. kriteria baku kerusakan mangrove; <br />
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;<br />
f. kriteria baku kerusakan gambut;<br />
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau<br />
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya<br />
sesuai dengan perkembangan ilmu<br />
pengetahuan dan teknologi.<br />
<br />
(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan<br />
iklim didasarkan pada paramater antara lain: <br />
a. kenaikan temperatur; <br />
b. kenaikan muka air laut; <br />
c. badai; dan/atau <br />
d. kekeringan. <br />
<br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria<br />
baku kerusakan lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan<br />
ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan<br />
Peraturan Pemerintah. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Paragraf 5 . . .<br />
<br />
<br />
<br />
- 20 -<br />
Paragraf 5<br />
Amdal <br />
<br />
Pasal 22<br />
<br />
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang<br />
berdampak penting terhadap lingkungan<br />
hidup wajib memiliki amdal. <br />
<br />
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan<br />
kriteria: <br />
a. besarnya jumlah penduduk yang akan<br />
terkena dampak rencana usaha dan/atau<br />
kegiatan; <br />
b. luas wilayah penyebaran dampak; <br />
c. intensitas dan lamanya dampak<br />
berlangsung; <br />
d. banyaknya komponen lingkungan hidup<br />
lain yang akan terkena dampak; <br />
e. sifat kumulatif dampak; <br />
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak;<br />
dan/atau <br />
g. kriteria lain sesuai dengan<br />
perkembangan ilmu pengetahuan dan<br />
teknologi. <br />
<br />
<br />
Pasal 23<br />
<br />
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang<br />
berdampak penting yang wajib dilengkapi<br />
dengan amdal terdiri atas: <br />
a. pengubahan bentuk lahan dan<br />
bentang alam;<br />
b. eksploitasi sumber daya alam, baik<br />
yang terbarukan maupun yang tidak<br />
terbarukan;<br />
<br />
c. proses . . .<br />
<br />
<br />
- 21 -<br />
c. proses dan kegiatan yang secara<br />
potensial dapat menimbulkan<br />
pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup serta pemborosan<br />
dan kemerosotan sumber daya alam<br />
dalam pemanfaatannya;<br />
d. proses dan kegiatan yang hasilnya<br />
dapat mempengaruhi lingkungan alam,<br />
lingkungan buatan, serta lingkungan<br />
sosial dan budaya;<br />
e. proses dan kegiatan yang hasilnya<br />
akan mempengaruhi pelestarian<br />
kawasan konservasi sumber daya alam<br />
dan/atau perlindungan cagar budaya; <br />
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
hewan, dan jasad renik; <br />
g. pembuatan dan penggunaan bahan<br />
hayati dan nonhayati; <br />
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi<br />
dan/atau mempengaruhi pertahanan<br />
negara; dan/atau <br />
i. penerapan teknologi yang diperkirakan<br />
mempunyai potensi besar untuk<br />
mempengaruhi lingkungan hidup. <br />
<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis<br />
usaha dan/atau kegiatan yang wajib<br />
dilengkapi dengan amdal sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan<br />
peraturan Menteri.<br />
<br />
<br />
Pasal 24<br />
<br />
Dokumen amdal sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan<br />
keputusan kelayakan lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 25 . . .<br />
<br />
<br />
- 22 -<br />
Pasal 25<br />
<br />
Dokumen amdal memuat: <br />
a. pengkajian mengenai dampak rencana<br />
usaha dan/atau kegiatan; <br />
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana<br />
usaha dan/atau kegiatan; <br />
c. saran masukan serta tanggapan<br />
masyarakat terhadap rencana usaha<br />
dan/atau kegiatan;<br />
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta<br />
sifat penting dampak yang terjadi jika<br />
rencana usaha dan/atau kegiatan<br />
tersebut dilaksanakan;<br />
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak<br />
yang terjadi untuk menentukan kelayakan<br />
atau ketidaklayakan lingkungan hidup;<br />
dan<br />
f. rencana pengelolaan dan pemantauan<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
Pasal 26<br />
<br />
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa<br />
dengan melibatkan masyarakat. <br />
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan<br />
berdasarkan prinsip pemberian informasi<br />
yang transparan dan lengkap serta<br />
diberitahukan sebelum kegiatan<br />
dilaksanakan. <br />
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) meliputi: <br />
a. yang terkena dampak;<br />
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau <br />
c. yang terpengaruh atas segala bentuk<br />
keputusan dalam proses amdal.<br />
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) dapat mengajukan keberatan<br />
terhadap dokumen amdal.<br />
Pasal 27 . . .<br />
<br />
<br />
- 23 -<br />
Pasal 27<br />
<br />
Dalam menyusun dokumen amdal,<br />
pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan<br />
kepada pihak lain.<br />
<br />
<br />
Pasal 28<br />
<br />
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27<br />
wajib memiliki sertifikat kompetensi<br />
penyusun amdal.<br />
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat<br />
kompetensi penyusun amdal<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
meliputi:<br />
a. penguasaan metodologi penyusunan<br />
amdal;<br />
b. kemampuan melakukan pelingkupan,<br />
prakiraan, dan evaluasi dampak serta<br />
pengambilan keputusan; dan<br />
c. kemampuan menyusun rencana<br />
pengelolaan dan pemantauan<br />
lingkungan hidup.<br />
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
diterbitkan oleh lembaga sertifikasi<br />
kompetensi penyusun amdal yang<br />
ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan<br />
ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai<br />
sertifikasi dan kriteria kompetensi<br />
penyusun amdal diatur dengan peraturan<br />
Menteri.<br />
<br />
Pasal 29<br />
<br />
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi<br />
Penilai Amdal yang dibentuk oleh<br />
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
sesuai dengan kewenangannya. <br />
(2) Komisi . . .<br />
<br />
<br />
- 24 -<br />
(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi<br />
dari Menteri, gubernur, atau<br />
bupati/walikota sesuai dengan<br />
kewenangannya. <br />
(3) Persyaratan dan tatacara lisensi<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)<br />
diatur dengan Peraturan Menteri. <br />
<br />
Pasal 30<br />
<br />
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29<br />
terdiri atas wakil dari unsur: <br />
a. instansi lingkungan hidup; <br />
b. instansi teknis terkait; <br />
c. pakar di bidang pengetahuan yang<br />
terkait dengan jenis usaha dan/atau<br />
kegiatan yang sedang dikaji;<br />
d. pakar di bidang pengetahuan yang<br />
terkait dengan dampak yang timbul<br />
dari suatu usaha dan/atau kegiatan<br />
yang sedang dikaji;<br />
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi<br />
terkena dampak; dan <br />
f. organisasi lingkungan hidup.<br />
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi<br />
Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis<br />
yang terdiri atas pakar independen yang<br />
melakukan kajian teknis dan sekretariat<br />
yang dibentuk untuk itu.<br />
(3) Pakar independen dan sekretariat<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)<br />
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau<br />
bupati/walikota sesuai dengan<br />
kewenangannya.<br />
<br />
Pasal 31<br />
<br />
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai<br />
Amdal, Menteri, gubernur, atau<br />
bupati/walikota menetapkan keputusan<br />
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan<br />
hidup sesuai dengan kewenangannya. <br />
Pasal 32 . . .<br />
<br />
<br />
- 25 -<br />
Pasal 32<br />
<br />
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah<br />
membantu penyusunan amdal bagi usaha<br />
dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah<br />
yang berdampak penting terhadap<br />
lingkungan hidup. <br />
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi,<br />
biaya, dan/atau penyusunan amdal.<br />
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan<br />
golongan ekonomi lemah diatur dengan<br />
peraturan perundang-undangan.<br />
<br />
Pasal 33<br />
<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai<br />
dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan<br />
Pemerintah.<br />
<br />
<br />
Paragraf 6<br />
UKL-UPL <br />
<br />
Pasal 34<br />
<br />
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang<br />
tidak termasuk dalam kriteria wajib<br />
amdal sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.<br />
(2) Gubernur atau bupati/walikota<br />
menetapkan jenis usaha dan/atau<br />
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan<br />
UKL-UPL. <br />
<br />
Pasal 35<br />
<br />
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak<br />
wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib<br />
membuat surat pernyataan kesanggupan<br />
pengelolaan dan pemantauan lingkungan<br />
hidup. <br />
(2) Penetapan . . .<br />
<br />
<br />
- 26 -<br />
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
dilakukan berdasarkan kriteria:<br />
a. tidak termasuk dalam kategori<br />
berdampak penting sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);<br />
dan<br />
b. kegiatan usaha mikro dan kecil. <br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL<br />
dan surat pernyataan kesanggupan<br />
pengelolaan dan pemantauan lingkungan<br />
hidup diatur dengan peraturan Menteri. <br />
<br />
<br />
Paragraf 7<br />
Perizinan<br />
<br />
Pasal 36<br />
<br />
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang<br />
wajib memiliki amdal atau UKL-UPL<br />
wajib memiliki izin lingkungan.<br />
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan<br />
keputusan kelayakan lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31<br />
atau rekomendasi UKL-UPL.<br />
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) wajib mencantumkan<br />
persyaratan yang dimuat dalam<br />
keputusan kelayakan lingkungan hidup<br />
atau rekomendasi UKL-UPL.<br />
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,<br />
gubernur, atau bupati/walikota sesuai<br />
dengan kewenangannya.<br />
<br />
Pasal 37<br />
<br />
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
sesuai dengan kewenangannya wajib<br />
menolak permohonan izin lingkungan<br />
apabila permohonan izin tidak dilengkapi<br />
dengan amdal atau UKL-UPL.<br />
(2) Izin . . .<br />
<br />
<br />
- 27 -<br />
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan<br />
apabila: <br />
a. persyaratan yang diajukan dalam<br />
permohonan izin mengandung cacat<br />
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan,<br />
serta ketidakbenaran dan/atau<br />
pemalsuan data, dokumen, dan/atau<br />
informasi; <br />
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat<br />
sebagaimana tercantum dalam<br />
keputusan komisi tentang kelayakan<br />
lingkungan hidup atau rekomendasi<br />
UKL-UPL; atau<br />
c. kewajiban yang ditetapkan dalam<br />
dokumen amdal atau UKL-UPL tidak<br />
dilaksanakan oleh penanggung jawab<br />
usaha dan/atau kegiatan. <br />
<br />
Pasal 38<br />
<br />
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan<br />
dapat dibatalkan melalui keputusan<br />
pengadilan tata usaha negara. <br />
<br />
<br />
Pasal 39<br />
<br />
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
sesuai dengan kewenangannya wajib<br />
mengumumkan setiap permohonan dan<br />
keputusan izin lingkungan. <br />
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang<br />
mudah diketahui oleh masyarakat.<br />
<br />
<br />
Pasal 40<br />
<br />
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan<br />
untuk memperoleh izin usaha dan/atau<br />
kegiatan. <br />
(2) Dalam . . .<br />
<br />
<br />
- 28 -<br />
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin<br />
usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. <br />
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan<br />
mengalami perubahan, penanggung<br />
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib<br />
memperbarui izin lingkungan. <br />
<br />
<br />
Pasal 41<br />
<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36<br />
sampai dengan Pasal 40 diatur dalam<br />
Peraturan Pemerintah. <br />
<br />
<br />
Paragraf 8<br />
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup<br />
<br />
Pasal 42<br />
<br />
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi<br />
lingkungan hidup, Pemerintah dan<br />
pemerintah daerah wajib mengembangkan<br />
dan menerapkan instrumen ekonomi<br />
lingkungan hidup. <br />
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
meliputi:<br />
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan<br />
ekonomi;<br />
b. pendanaan lingkungan hidup; dan<br />
c. insentif dan/atau disinsentif. <br />
<br />
Pasal 43<br />
<br />
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan<br />
kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi: <br />
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan<br />
hidup; <br />
b. penyusunan . . .<br />
<br />
<br />
- 29 -<br />
b. penyusunan produk domestik bruto dan<br />
produk domestik regional bruto yang<br />
mencakup penyusutan sumber daya<br />
alam dan kerusakan lingkungan hidup; <br />
c. mekanisme kompensasi/imbal jasa<br />
lingkungan hidup antardaerah; dan<br />
d. internalisasi biaya lingkungan hidup. <br />
<br />
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat<br />
(2) huruf b meliputi: <br />
a. dana jaminan pemulihan lingkungan<br />
hidup;<br />
b. dana penanggulangan pencemaran<br />
dan/atau kerusakan dan pemulihan<br />
lingkungan hidup; dan <br />
c. dana amanah/bantuan untuk<br />
konservasi.<br />
<br />
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c<br />
antara lain diterapkan dalam bentuk:<br />
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah<br />
lingkungan hidup;<br />
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi<br />
lingkungan hidup; <br />
c. pengembangan sistem lembaga keuangan<br />
dan pasar modal yang ramah lingkungan<br />
hidup;<br />
d. pengembangan sistem perdagangan izin<br />
pembuangan limbah dan/atau emisi; <br />
e. pengembangan sistem pembayaran jasa<br />
lingkungan hidup;<br />
f. pengembangan asuransi lingkungan<br />
hidup;<br />
g. pengembangan sistem label ramah<br />
lingkungan hidup; dan<br />
h. sistem penghargaan kinerja di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup.<br />
(4) Ketentuan . . .<br />
<br />
<br />
- 30 -<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen<br />
ekonomi lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat<br />
(1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam<br />
Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
Paragraf 9<br />
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup<br />
<br />
Pasal 44<br />
<br />
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah<br />
wajib memperhatikan perlindungan fungsi<br />
lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan<br />
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang<br />
ini. <br />
<br />
Paragraf 10<br />
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup <br />
<br />
Pasal 45<br />
(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat<br />
Republik Indonesia serta pemerintah daerah<br />
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib<br />
mengalokasikan anggaran yang memadai<br />
untuk membiayai:<br />
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup; dan<br />
b. program pembangunan yang berwawasan<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran<br />
dana alokasi khusus lingkungan hidup yang<br />
memadai untuk diberikan kepada daerah<br />
yang memiliki kinerja perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup yang baik. <br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 46 . . .<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
- 31 -<br />
Pasal 46<br />
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi<br />
lingkungan hidup yang kualitasnya telah<br />
mengalami pencemaran dan/atau kerusakan<br />
pada saat undang-undang ini ditetapkan,<br />
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib<br />
mengalokasikan anggaran untuk pemulihan<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
Paragraf 11<br />
Analisis Risiko Lingkungan Hidup<br />
<br />
Pasal 47<br />
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang<br />
berpotensi menimbulkan dampak penting<br />
terhadap lingkungan hidup, ancaman<br />
terhadap ekosistem dan kehidupan,<br />
dan/atau kesehatan dan keselamatan<br />
manusia wajib melakukan analisis risiko<br />
lingkungan hidup. <br />
(2) Analisis risiko lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
meliputi:<br />
a. pengkajian risiko;<br />
b. pengelolaan risiko; dan/atau <br />
c. komunikasi risiko.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis<br />
risiko lingkungan hidup diatur dalam<br />
Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
Paragraf 12<br />
Audit Lingkungan Hidup <br />
<br />
Pasal 48<br />
Pemerintah mendorong penanggung jawab<br />
usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan<br />
audit lingkungan hidup dalam rangka<br />
meningkatkan kinerja lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 49 . . .<br />
<br />
<br />
- 32 -<br />
Pasal 49<br />
(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup<br />
kepada:<br />
a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang<br />
berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup;<br />
dan/atau<br />
b. penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan yang menunjukkan<br />
ketidaktaatan terhadap peraturan<br />
perundang-undangan.<br />
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
wajib melaksanakan audit lingkungan hidup. <br />
(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup<br />
terhadap kegiatan tertentu yang berisiko<br />
tinggi dilakukan secara berkala.<br />
<br />
<br />
Pasal 50<br />
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan tidak melaksanakan kewajiban<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat<br />
(1), Menteri dapat melaksanakan atau<br />
menugasi pihak ketiga yang independen<br />
untuk melaksanakan audit lingkungan hidup<br />
atas beban biaya penanggung jawab usaha<br />
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.<br />
(2) Menteri mengumumkan hasil audit<br />
lingkungan hidup.<br />
<br />
Pasal 51<br />
(1) Audit lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49<br />
dilaksanakan oleh auditor lingkungan<br />
hidup.<br />
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki<br />
sertifikat kompetensi auditor lingkungan<br />
hidup.<br />
<br />
<br />
(3) Kriteria . . .<br />
<br />
<br />
- 33 -<br />
(3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat<br />
kompetensi auditor lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)<br />
meliputi kemampuan:<br />
a. memahami prinsip, metodologi, dan<br />
tata laksana audit lingkungan hidup;<br />
b. melakukan audit lingkungan hidup<br />
yang meliputi tahapan perencanaan,<br />
pelaksanaan, pengambilan<br />
kesimpulan, dan pelaporan; dan<br />
c. merumuskan rekomendasi langkah<br />
perbaikan sebagai tindak lanjut audit<br />
lingkungan hidup.<br />
(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan<br />
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat<br />
(2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi<br />
kompetensi auditor lingkungan hidup<br />
sesuai dengan ketentuan peraturan<br />
perundang-undangan.<br />
<br />
Pasal 52<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan<br />
Peraturan Menteri.<br />
<br />
Bagian Ketiga<br />
Penanggulangan<br />
<br />
Pasal 53<br />
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib<br />
melakukan penanggulangan pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.<br />
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:<br />
a. pemberian informasi peringatan<br />
pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup kepada masyarakat;<br />
b. pengisolasian . . .<br />
<br />
<br />
- 34 -<br />
b. pengisolasian pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup;<br />
c. penghentian sumber pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;<br />
dan/atau<br />
d. cara lain yang sesuai dengan<br />
perkembangan ilmu pengetahuan dan<br />
teknologi. <br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara<br />
penanggulangan pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam<br />
Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
Bagian Keempat<br />
Pemulihan<br />
<br />
Pasal 54<br />
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan hidup<br />
wajib melakukan pemulihan fungsi<br />
lingkungan hidup.<br />
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
dilakukan dengan tahapan:<br />
a. penghentian sumber pencemaran dan<br />
pembersihan unsur pencemar;<br />
b. remediasi;<br />
c. rehabilitasi;<br />
d. restorasi; dan/atau<br />
e. cara lain yang sesuai dengan<br />
perkembangan ilmu pengetahuan dan<br />
teknologi.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara<br />
pemulihan fungsi lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)<br />
diatur dalam Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
Pasal 55 . . .<br />
<br />
<br />
- 35 -<br />
Pasal 55<br />
(1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib<br />
menyediakan dana penjaminan untuk<br />
pemulihan fungsi lingkungan hidup. <br />
(2) Dana penjaminan disimpan di bank<br />
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri,<br />
gubernur, atau bupati/walikota sesuai<br />
dengan kewenangannya.<br />
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
sesuai dengan kewenangannya dapat<br />
menetapkan pihak ketiga untuk melakukan<br />
pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan<br />
menggunakan dana penjaminan.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana<br />
penjaminan sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam<br />
Peraturan Pemerintah. <br />
<br />
Pasal 56<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian<br />
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan<br />
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13<br />
sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan<br />
Pemerintah.<br />
<br />
BAB VI <br />
PEMELIHARAAN<br />
<br />
Pasal 57<br />
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan<br />
melalui upaya: <br />
a. konservasi sumber daya alam; <br />
b. pencadangan sumber daya alam;<br />
dan/atau <br />
c. pelestarian fungsi atmosfer. <br />
(2) Konservasi . . .<br />
<br />
<br />
- 36 -<br />
(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi<br />
kegiatan:<br />
a. perlindungan sumber daya alam;<br />
b. pengawetan sumber daya alam; dan<br />
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya<br />
alam. <br />
(3) Pencadangan sumber daya alam<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b<br />
merupakan sumber daya alam yang tidak<br />
dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu. <br />
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: <br />
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan<br />
iklim; <br />
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan<br />
c. upaya perlindungan terhadap hujan<br />
asam. <br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi<br />
dan pencadangan sumber daya alam serta<br />
pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan<br />
Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
BAB VII<br />
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN <br />
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN<br />
<br />
Bagian Kesatu<br />
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun<br />
<br />
Pasal 58<br />
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam<br />
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,<br />
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,<br />
menyimpan, memanfaatkan, membuang,<br />
mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib<br />
melakukan pengelolaan B3.<br />
(2) Ketentuan . . .<br />
<br />
<br />
- 37 -<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan<br />
B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
diatur dalam Peraturan Pemerintah.<br />
<br />
Bagian Kedua<br />
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun<br />
<br />
Pasal 59<br />
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3<br />
wajib melakukan pengelolaan limbah B3<br />
yang dihasilkannya.<br />
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,<br />
pengelolaannya mengikuti ketentuan<br />
pengelolaan limbah B3.<br />
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu<br />
melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,<br />
pengelolaannya diserahkan kepada pihak<br />
lain.<br />
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin<br />
dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
sesuai dengan kewenangannya. <br />
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
wajib mencantumkan persyaratan<br />
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan<br />
kewajiban yang harus dipatuhi pengelola<br />
limbah B3 dalam izin. <br />
(6) Keputusan pemberian izin wajib<br />
diumumkan.<br />
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan<br />
limbah B3 diatur dalam Peraturan<br />
Pemerintah.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Bagian Ketiga . . .<br />
<br />
<br />
- 38 -<br />
Bagian Ketiga <br />
Dumping <br />
<br />
Pasal 60<br />
Setiap orang dilarang melakukan dumping<br />
limbah dan/atau bahan ke media lingkungan<br />
hidup tanpa izin. <br />
<br />
Pasal 61<br />
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan<br />
izin dari Menteri, gubernur, atau<br />
bupati/walikota sesuai dengan<br />
kewenangannya. <br />
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi<br />
yang telah ditentukan.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara<br />
dan persyaratan dumping limbah atau<br />
bahan diatur dalam Peraturan<br />
Pemerintah. <br />
<br />
BAB VIII<br />
SISTEM INFORMASI <br />
<br />
Pasal 62<br />
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah<br />
mengembangkan sistem informasi<br />
lingkungan hidup untuk mendukung<br />
pelaksanaan dan pengembangan kebijakan<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup.<br />
(2) Sistem informasi lingkungan hidup<br />
dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi<br />
dan wajib dipublikasikan kepada<br />
masyarakat.<br />
<br />
<br />
(3) Sistem . . .<br />
<br />
<br />
- 39 -<br />
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling<br />
sedikit memuat informasi mengenai status<br />
lingkungan hidup, peta rawan lingkungan<br />
hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem<br />
informasi lingkungan hidup diatur dengan<br />
Peraturan Menteri.<br />
<br />
BAB IX<br />
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH<br />
<br />
Pasal 63<br />
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan<br />
berwenang:<br />
a. menetapkan kebijakan nasional; <br />
b. menetapkan norma, standar, prosedur,<br />
dan kriteria;<br />
c. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai RPPLH nasional;<br />
d. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai KLHS; <br />
e. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; <br />
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber<br />
daya alam nasional dan emisi gas rumah<br />
kaca;<br />
g. mengembangkan standar kerja sama;<br />
h. mengoordinasikan dan melaksanakan<br />
pengendalian pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup; <br />
i. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai sumber daya alam<br />
hayati dan nonhayati, keanekaragaman<br />
hayati, sumber daya genetik, dan<br />
keamanan hayati produk rekayasa<br />
genetik;<br />
j. menetapkan . . .<br />
<br />
<br />
- 40 -<br />
j. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai pengendalian<br />
dampak perubahan iklim dan<br />
perlindungan lapisan ozon;<br />
k. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai B3, limbah, serta<br />
limbah B3;<br />
l. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai perlindungan<br />
lingkungan laut;<br />
m. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup<br />
lintas batas negara;<br />
n. melakukan pembinaan dan<br />
pengawasan terhadap pelaksanaan<br />
kebijakan nasional, peraturan daerah,<br />
dan peraturan kepala daerah;<br />
o. melakukan pembinaan dan<br />
pengawasan ketaatan penanggung<br />
jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
terhadap ketentuan perizinan<br />
lingkungan dan peraturan perundang-undangan; <br />
p. mengembangkan dan menerapkan<br />
instrumen lingkungan hidup; <br />
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi<br />
kerja sama dan penyelesaian<br />
perselisihan antardaerah serta<br />
penyelesaian sengketa; <br />
r. mengembangkan dan melaksanakan<br />
kebijakan pengelolaan pengaduan<br />
masyarakat; <br />
s. menetapkan standar pelayanan minimal;<br />
t. menetapkan kebijakan mengenai tata<br />
cara pengakuan keberadaan<br />
masyarakat hukum adat, kearifan<br />
lokal, dan hak masyarakat hukum<br />
adat yang terkait dengan perlindungan<br />
dan pengelolaan lingkungan hidup; <br />
u. mengelola . . .<br />
<br />
<br />
- 41 -<br />
u. mengelola informasi lingkungan hidup<br />
nasional;<br />
v. mengoordinasikan, mengembangkan,<br />
dan menyosialisasikan pemanfaatan<br />
teknologi ramah lingkungan hidup;<br />
w. memberikan pendidikan, pelatihan,<br />
pembinaan, dan penghargaan; <br />
x. mengembangkan sarana dan standar<br />
laboratorium lingkungan hidup;<br />
y. menerbitkan izin lingkungan; <br />
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan <br />
aa.melakukan penegakan hukum<br />
lingkungan hidup.<br />
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup, pemerintah provinsi<br />
bertugas dan berwenang:<br />
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;<br />
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS<br />
tingkat provinsi; <br />
c. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai RPPLH provinsi;<br />
d. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; <br />
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber<br />
daya alam dan emisi gas rumah kaca<br />
pada tingkat provinsi; <br />
f. mengembangkan dan melaksanakan<br />
kerja sama dan kemitraan;<br />
g. mengoordinasikan dan melaksanakan<br />
pengendalian pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup lintas<br />
kabupaten/kota; <br />
h. melakukan pembinaan dan<br />
pengawasan terhadap pelaksanaan<br />
kebijakan, peraturan daerah, dan<br />
peraturan kepala daerah<br />
kabupaten/kota;<br />
i. melakukan . . .<br />
<br />
<br />
- 42 -<br />
i. melakukan pembinaan dan pengawasan<br />
ketaatan penanggung jawab usaha<br />
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan<br />
perizinan lingkungan dan peraturan<br />
perundang-undangan di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup; <br />
j. mengembangkan dan menerapkan<br />
instrumen lingkungan hidup; <br />
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi<br />
kerja sama dan penyelesaian<br />
perselisihan<br />
antarkabupaten/antarkota serta<br />
penyelesaian sengketa;<br />
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis,<br />
dan pengawasan kepada<br />
kabupaten/kota di bidang program dan<br />
kegiatan;<br />
m. melaksanakan standar pelayanan<br />
minimal;<br />
n. menetapkan kebijakan mengenai tata<br />
cara pengakuan keberadaan<br />
masyarakat hukum adat, kearifan<br />
lokal, dan hak masyarakat hukum<br />
adat yang terkait dengan<br />
perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup pada tingkat<br />
provinsi; <br />
o. mengelola informasi lingkungan hidup<br />
tingkat provinsi;<br />
p. mengembangkan dan<br />
menyosialisasikan pemanfaatan<br />
teknologi ramah lingkungan hidup;<br />
q. memberikan pendidikan, pelatihan,<br />
pembinaan, dan penghargaan; <br />
r. menerbitkan izin lingkungan pada<br />
tingkat provinsi; dan<br />
s. melakukan penegakan hukum<br />
lingkungan hidup pada tingkat<br />
provinsi.<br />
(3) Dalam . . .<br />
<br />
<br />
- 43 -<br />
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup, pemerintah<br />
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:<br />
a. menetapkan kebijakan tingkat<br />
kabupaten/kota;<br />
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS<br />
tingkat kabupaten/kota;<br />
c. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai RPPLH<br />
kabupaten/kota;<br />
d. menetapkan dan melaksanakan<br />
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; <br />
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber<br />
daya alam dan emisi gas rumah kaca<br />
pada tingkat kabupaten/kota; <br />
f. mengembangkan dan melaksanakan<br />
kerja sama dan kemitraan; <br />
g. mengembangkan dan menerapkan<br />
instrumen lingkungan hidup; <br />
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; <br />
i. melakukan pembinaan dan<br />
pengawasan ketaatan penanggung<br />
jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
terhadap ketentuan perizinan<br />
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;<br />
j. melaksanakan standar pelayanan<br />
minimal;<br />
k. melaksanakan kebijakan mengenai<br />
tata cara pengakuan keberadaan<br />
masyarakat hukum adat, kearifan<br />
lokal, dan hak masyarakat hukum<br />
adat yang terkait dengan perlindungan<br />
dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
pada tingkat kabupaten/kota; <br />
l. mengelola informasi lingkungan hidup<br />
tingkat kabupaten/kota;<br />
m. mengembangkan dan melaksanakan<br />
kebijakan sistem informasi lingkungan<br />
hidup tingkat kabupaten/kota; <br />
n. memberikan . . .<br />
<br />
<br />
- 44 -<br />
n. memberikan pendidikan, pelatihan,<br />
pembinaan, dan penghargaan; <br />
o. menerbitkan izin lingkungan pada<br />
tingkat kabupaten/kota; dan<br />
p. melakukan penegakan hukum<br />
lingkungan hidup pada tingkat<br />
kabupaten/kota. <br />
<br />
Pasal 64<br />
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan<br />
dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri. <br />
<br />
BAB X<br />
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN<br />
<br />
Bagian Kesatu<br />
Hak<br />
<br />
Pasal 65<br />
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup<br />
yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak<br />
asasi manusia.<br />
(2) Setiap orang berhak mendapatkan<br />
pendidikan lingkungan hidup, akses<br />
informasi, akses partisipasi, dan akses<br />
keadilan dalam memenuhi hak atas<br />
lingkungan hidup yang baik dan sehat.<br />
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul<br />
dan/atau keberatan terhadap rencana<br />
usaha dan/atau kegiatan yang<br />
diperkirakan dapat menimbulkan dampak<br />
terhadap lingkungan hidup.<br />
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup sesuai dengan peraturan<br />
perundang-undangan.<br />
(5) Setiap . . .<br />
<br />
<br />
- 45 -<br />
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan<br />
akibat dugaan pencemaran dan/atau<br />
perusakan lingkungan hidup.<br />
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara<br />
pengaduan sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.<br />
<br />
Pasal 66<br />
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas<br />
lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak<br />
dapat dituntut secara pidana maupun digugat<br />
secara perdata. <br />
<br />
Bagian Kedua<br />
Kewajiban<br />
<br />
Pasal 67<br />
Setiap orang berkewajiban memelihara<br />
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta<br />
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup.<br />
<br />
Pasal 68<br />
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau<br />
kegiatan berkewajiban:<br />
a. memberikan informasi yang terkait dengan<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup secara benar, akurat, terbuka, dan<br />
tepat waktu; <br />
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan<br />
hidup; dan<br />
c. menaati ketentuan tentang baku mutu<br />
lingkungan hidup dan/atau kriteria baku<br />
kerusakan lingkungan hidup.<br />
<br />
<br />
Bagian Ketiga . . .<br />
<br />
<br />
- 46 -<br />
Bagian Ketiga<br />
Larangan<br />
<br />
Pasal 69<br />
(1) Setiap orang dilarang:<br />
a. melakukan perbuatan yang<br />
mengakibatkan pencemaran dan/atau<br />
perusakan lingkungan hidup;<br />
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut<br />
peraturan perundang-undangan ke<br />
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia;<br />
c. memasukkan limbah yang berasal dari<br />
luar wilayah Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia ke media lingkungan hidup<br />
Negara Kesatuan Republik Indonesia;<br />
d. memasukkan limbah B3 ke dalam<br />
wilayah Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia;<br />
e. membuang limbah ke media lingkungan<br />
hidup;<br />
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media<br />
lingkungan hidup;<br />
g. melepaskan produk rekayasa genetik<br />
ke media lingkungan hidup yang<br />
bertentangan dengan peraturan<br />
perundang-undangan atau izin<br />
lingkungan; <br />
h. melakukan pembukaan lahan dengan<br />
cara membakar; <br />
i. menyusun amdal tanpa memiliki<br />
sertifikat kompetensi penyusun amdal;<br />
dan/atau <br />
j. memberikan informasi palsu,<br />
menyesatkan, menghilangkan informasi,<br />
merusak informasi, atau memberikan<br />
keterangan yang tidak benar.<br />
<br />
<br />
(2) Ketentuan . . .<br />
<br />
<br />
- 47 -<br />
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat<br />
(1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.<br />
<br />
BAB XI<br />
PERAN MASYARAKAT<br />
<br />
Pasal 70<br />
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan<br />
yang sama dan seluas-luasnya untuk<br />
berperan aktif dalam perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup.<br />
(2) Peran masyarakat dapat berupa: <br />
a. pengawasan sosial; <br />
b. pemberian saran, pendapat, usul,<br />
keberatan, pengaduan; dan/atau<br />
c. penyampaian informasi dan/atau<br />
laporan.<br />
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:<br />
a. meningkatkan kepedulian dalam<br />
perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup;<br />
b. meningkatkan kemandirian,<br />
keberdayaan masyarakat, dan<br />
kemitraan; <br />
c. menumbuhkembangkan kemampuan<br />
dan kepeloporan masyarakat;<br />
d. menumbuhkembangkan<br />
ketanggapsegeraan masyarakat untuk<br />
melakukan pengawasan sosial; dan<br />
e. mengembangkan dan menjaga budaya<br />
dan kearifan lokal dalam rangka<br />
pelestarian fungsi lingkungan hidup.<br />
<br />
<br />
BAB XII . . .<br />
<br />
<br />
- 48 -<br />
BAB XII<br />
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF<br />
<br />
Bagian Kesatu <br />
Pengawasan<br />
<br />
Pasal 71<br />
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
sesuai dengan kewenangannya wajib<br />
melakukan pengawasan terhadap ketaatan<br />
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
atas ketentuan yang ditetapkan dalam<br />
peraturan perundang-undangan di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup. <br />
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
dapat mendelegasikan kewenangannya<br />
dalam melakukan pengawasan kepada<br />
pejabat/instansi teknis yang bertanggung<br />
jawab di bidang perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup. <br />
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri,<br />
gubernur, atau bupati/walikota menetapkan<br />
pejabat pengawas lingkungan hidup yang<br />
merupakan pejabat fungsional. <br />
<br />
Pasal 72<br />
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai<br />
dengan kewenangannya wajib melakukan<br />
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha<br />
dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. <br />
<br />
Pasal 73<br />
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap<br />
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh<br />
pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap<br />
terjadi pelanggaran yang serius di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. <br />
PASAL 74 . . .<br />
<br />
<br />
- 49 -<br />
<br />
Pasal 74<br />
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat<br />
(3) berwenang:<br />
a. melakukan pemantauan;<br />
b. meminta keterangan;<br />
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau<br />
membuat catatan yang diperlukan;<br />
d. memasuki tempat tertentu;<br />
e. memotret; <br />
f. membuat rekaman audio visual;<br />
g. mengambil sampel;<br />
h. memeriksa peralatan;<br />
i. memeriksa instalasi dan/atau alat<br />
transportasi; dan/atau<br />
j. menghentikan pelanggaran tertentu.<br />
<br />
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat<br />
pengawas lingkungan hidup dapat<br />
melakukan koordinasi dengan pejabat<br />
penyidik pegawai negeri sipil. <br />
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
dilarang menghalangi pelaksanaan tugas<br />
pejabat pengawas lingkungan hidup.<br />
<br />
Pasal 75<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara<br />
pengangkatan pejabat pengawas lingkungan<br />
hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3),<br />
Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan<br />
Pemerintah.<br />
<br />
<br />
Bagian Kedua . . .<br />
<br />
<br />
<br />
- 50 -<br />
Bagian Kedua<br />
Sanksi Administratif <br />
<br />
Pasal 76<br />
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
menerapkan sanksi administratif kepada<br />
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
jika dalam pengawasan ditemukan<br />
pelanggaran terhadap izin lingkungan.<br />
(2) Sanksi administratif terdiri atas: <br />
a. teguran tertulis;<br />
b. paksaan pemerintah;<br />
c. pembekuan izin lingkungan; atau<br />
d. pencabutan izin lingkungan.<br />
<br />
Pasal 77<br />
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif<br />
terhadap penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah<br />
daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi<br />
administratif terhadap pelanggaran yang serius di<br />
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup.<br />
<br />
Pasal 78 <br />
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung<br />
jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung<br />
jawab pemulihan dan pidana.<br />
<br />
Pasal 79<br />
Pengenaan sanksi administratif berupa<br />
pembekuan atau pencabutan izin lingkungan<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat<br />
(2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila<br />
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.<br />
<br />
Pasal 80 . . .<br />
<br />
<br />
- 51 -<br />
Pasal 80<br />
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b<br />
berupa:<br />
a. penghentian sementara kegiatan<br />
produksi;<br />
b. pemindahan sarana produksi;<br />
c. penutupan saluran pembuangan air<br />
limbah atau emisi;<br />
d. pembongkaran;<br />
e. penyitaan terhadap barang atau alat<br />
yang berpotensi menimbulkan<br />
pelanggaran; <br />
f. penghentian sementara seluruh<br />
kegiatan; atau <br />
g. tindakan lain yang bertujuan untuk<br />
menghentikan pelanggaran dan<br />
tindakan memulihkan fungsi<br />
lingkungan hidup.<br />
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat<br />
dijatuhkan tanpa didahului teguran<br />
apabila pelanggaran yang dilakukan<br />
menimbulkan:<br />
a. ancaman yang sangat serius bagi<br />
manusia dan lingkungan hidup; <br />
b. dampak yang lebih besar dan lebih<br />
luas jika tidak segera dihentikan<br />
pencemaran dan/atau perusakannya;<br />
dan/atau<br />
c. kerugian yang lebih besar bagi<br />
lingkungan hidup jika tidak segera<br />
dihentikan pencemaran dan/atau<br />
perusakannya.<br />
<br />
Pasal 81<br />
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan<br />
pemerintah dapat dikenai denda atas setiap<br />
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan<br />
pemerintah.<br />
Pasal 82 . . .<br />
<br />
<br />
- 52 -<br />
<br />
Pasal 82<br />
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
berwenang untuk memaksa penanggung<br />
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk<br />
melakukan pemulihan lingkungan hidup<br />
akibat pencemaran dan/atau perusakan<br />
lingkungan hidup yang dilakukannya. <br />
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota<br />
berwenang atau dapat menunjuk pihak<br />
ketiga untuk melakukan pemulihan<br />
lingkungan hidup akibat pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan hidup<br />
yang dilakukannya atas beban biaya<br />
penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan.<br />
<br />
Pasal 83<br />
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi<br />
administratif diatur dalam Peraturan<br />
Pemerintah.<br />
<br />
BAB XIII<br />
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN <br />
<br />
Bagian Kesatu<br />
Umum<br />
<br />
Pasal 84<br />
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup<br />
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di<br />
luar pengadilan.<br />
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan<br />
hidup dilakukan secara suka rela oleh para<br />
pihak yang bersengketa.<br />
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat<br />
ditempuh apabila upaya penyelesaian<br />
sengketa di luar pengadilan yang dipilih<br />
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu<br />
atau para pihak yang bersengketa.<br />
Bagian Kedua . . .<br />
<br />
<br />
- 53 -<br />
<br />
Bagian Kedua<br />
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan<br />
<br />
Pasal 85<br />
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di<br />
luar pengadilan dilakukan untuk mencapai<br />
kesepakatan mengenai:<br />
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;<br />
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran<br />
dan/atau perusakan; <br />
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak<br />
akan terulangnya pencemaran dan/atau<br />
perusakan; dan/atau<br />
d. tindakan untuk mencegah timbulnya<br />
dampak negatif terhadap lingkungan<br />
hidup.<br />
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak<br />
berlaku terhadap tindak pidana lingkungan<br />
hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.<br />
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan<br />
hidup di luar pengadilan dapat digunakan<br />
jasa mediator dan/atau arbiter untuk<br />
membantu menyelesaikan sengketa<br />
lingkungan hidup.<br />
<br />
Pasal 86<br />
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga<br />
penyedia jasa penyelesaian sengketa<br />
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan<br />
tidak berpihak.<br />
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat<br />
memfasilitasi pembentukan lembaga<br />
penyedia jasa penyelesaian sengketa<br />
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan<br />
tidak berpihak.<br />
<br />
(3) Ketentuan . . .<br />
<br />
<br />
- 54 -<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga<br />
penyedia jasa penyelesaian sengketa<br />
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan<br />
Pemerintah.<br />
<br />
Bagian Ketiga<br />
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan<br />
<br />
Paragraf 1<br />
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan<br />
<br />
Pasal 87<br />
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan yang melakukan perbuatan<br />
melanggar hukum berupa pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan hidup<br />
yang menimbulkan kerugian pada orang<br />
lain atau lingkungan hidup wajib <br />
membayar ganti rugi dan/atau melakukan<br />
tindakan tertentu. <br />
(2) Setiap orang yang melakukan<br />
pemindahtanganan, pengubahan sifat dan<br />
bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari<br />
suatu badan usaha yang melanggar<br />
hukum tidak melepaskan tanggung jawab<br />
hukum dan/atau kewajiban badan usaha<br />
tersebut. <br />
(3) Pengadilan dapat menetapkan<br />
pembayaran uang paksa terhadap setiap<br />
hari keterlambatan atas pelaksanaan<br />
putusan pengadilan.<br />
(4) Besarnya uang paksa diputuskan<br />
berdasarkan peraturan perundang-undangan.<br />
<br />
<br />
<br />
Paragraf 2 . . .<br />
<br />
<br />
- 55 -<br />
Paragraf 2<br />
Tanggung Jawab Mutlak<br />
<br />
Pasal 88<br />
Setiap orang yang tindakannya, usahanya,<br />
dan/atau kegiatannya menggunakan B3,<br />
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,<br />
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius<br />
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab<br />
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu<br />
pembuktian unsur kesalahan.<br />
<br />
Paragraf 3<br />
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan<br />
<br />
Pasal 89<br />
(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan<br />
gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang<br />
waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan<br />
dihitung sejak diketahui adanya pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. <br />
(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa<br />
tidak berlaku terhadap pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang<br />
diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan<br />
yang menggunakan dan/atau mengelola B3 <br />
serta menghasilkan dan/atau mengelola<br />
limbah B3.<br />
<br />
Paragraf 4<br />
Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah <br />
<br />
Pasal 90<br />
(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah<br />
yang bertanggung jawab di bidang<br />
lingkungan hidup berwenang mengajukan<br />
gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu<br />
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang<br />
menyebabkan pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup yang<br />
mengakibatkan kerugian lingkungan<br />
hidup. <br />
(2) Ketentuan . . .<br />
<br />
<br />
- 56 -<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian<br />
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan<br />
Menteri. <br />
<br />
Paragraf 5<br />
Hak Gugat Masyarakat <br />
<br />
Pasal 91<br />
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan<br />
perwakilan kelompok untuk kepentingan<br />
dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan<br />
masyarakat apabila mengalami kerugian<br />
akibat pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup. <br />
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat<br />
kesamaan fakta atau peristiwa, dasar<br />
hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil<br />
kelompok dan anggota kelompoknya. <br />
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat<br />
dilaksanakan sesuai dengan peraturan<br />
perundang-undangan.<br />
<br />
Paragraf 6<br />
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup <br />
<br />
Pasal 92<br />
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup, organisasi lingkungan hidup berhak<br />
mengajukan gugatan untuk kepentingan<br />
pelestarian fungsi lingkungan hidup.<br />
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada<br />
tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu<br />
tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali<br />
biaya atau pengeluaran riil. <br />
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat<br />
mengajukan gugatan apabila memenuhi<br />
persyaratan:<br />
a. berbentuk . . .<br />
<br />
<br />
- 57 -<br />
a. berbentuk badan hukum;<br />
b. menegaskan di dalam anggaran<br />
dasarnya bahwa organisasi tersebut<br />
didirikan untuk kepentingan pelestarian<br />
fungsi lingkungan hidup; dan<br />
c. telah melaksanakan kegiatan nyata<br />
sesuai dengan anggaran dasarnya paling<br />
singkat 2 (dua) tahun.<br />
<br />
<br />
Paragraf 7<br />
Gugatan Administratif<br />
<br />
Pasal 93<br />
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan<br />
terhadap keputusan tata usaha negara<br />
apabila:<br />
a. badan atau pejabat tata usaha negara<br />
menerbitkan izin lingkungan kepada<br />
usaha dan/atau kegiatan yang wajib<br />
amdal tetapi tidak dilengkapi dengan<br />
dokumen amdal;<br />
b. badan atau pejabat tata usaha negara<br />
menerbitkan izin lingkungan kepada<br />
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi<br />
tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau<br />
c. badan atau pejabat tata usaha negara<br />
yang menerbitkan izin usaha dan/atau<br />
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan<br />
izin lingkungan.<br />
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap<br />
keputusan tata usaha negara mengacu<br />
pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha<br />
Negara.<br />
<br />
<br />
BAB XIV . . .<br />
<br />
<br />
- 58 -<br />
BAB XIV<br />
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN<br />
<br />
Bagian Kesatu <br />
Penyidikan <br />
<br />
Pasal 94<br />
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara<br />
Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri<br />
sipil tertentu di lingkungan instansi<br />
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung<br />
jawabnya di bidang perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup diberi<br />
wewenang sebagai penyidik sebagaimana<br />
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk<br />
melakukan penyidikan tindak pidana<br />
lingkungan hidup.<br />
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil<br />
berwenang:<br />
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran<br />
laporan atau keterangan berkenaan<br />
dengan tindak pidana di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup;<br />
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap<br />
orang yang diduga melakukan tindak<br />
pidana di bidang perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup;<br />
c. meminta keterangan dan bahan bukti<br />
dari setiap orang berkenaan dengan<br />
peristiwa tindak pidana di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup;<br />
d. melakukan pemeriksaan atas<br />
pembukuan, catatan, dan dokumen lain<br />
berkenaan dengan tindak pidana di<br />
bidang perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup;<br />
<br />
e. melakukan . . .<br />
<br />
<br />
- 59 -<br />
e. melakukan pemeriksaan di tempat<br />
tertentu yang diduga terdapat bahan<br />
bukti, pembukuan, catatan, dan<br />
dokumen lain; <br />
f. melakukan penyitaan terhadap bahan<br />
dan barang hasil pelanggaran yang dapat<br />
dijadikan bukti dalam perkara tindak<br />
pidana di bidang perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup;<br />
g. meminta bantuan ahli dalam rangka<br />
pelaksanaan tugas penyidikan tindak<br />
pidana di bidang perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup;<br />
h. menghentikan penyidikan;<br />
i. memasuki tempat tertentu, memotret,<br />
dan/atau membuat rekaman audio<br />
visual;<br />
j. melakukan penggeledahan terhadap<br />
badan, pakaian, ruangan, dan/atau<br />
tempat lain yang diduga merupakan<br />
tempat dilakukannya tindak pidana;<br />
dan/atau<br />
k. menangkap dan menahan pelaku tindak<br />
pidana. <br />
(3) Dalam melakukan penangkapan dan<br />
penahanan sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai<br />
negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik<br />
pejabat polisi Negara Republik Indonesia. <br />
(4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri<br />
sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat<br />
pegawai negeri sipil memberitahukan kepada<br />
penyidik pejabat polisi Negara Republik<br />
Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara<br />
Republik Indonesia memberikan bantuan<br />
guna kelancaran penyidikan. <br />
(5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil<br />
memberitahukan dimulainya penyidikan<br />
kepada penuntut umum dengan tembusan<br />
kepada penyidik pejabat polisi Negara<br />
Republik Indonesia.<br />
(6) Hasil . . .<br />
<br />
<br />
- 60 -<br />
(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh<br />
penyidik pegawai negeri sipil disampaikan<br />
kepada penuntut umum.<br />
<br />
Pasal 95<br />
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap<br />
pelaku tindak pidana lingkungan hidup,<br />
dapat dilakukan penegakan hukum terpadu<br />
antara penyidik pegawai negeri sipil,<br />
kepolisian, dan kejaksaan di bawah<br />
koordinasi Menteri. <br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai<br />
pelaksanaan penegakan hukum terpadu<br />
diatur dengan peraturan perundang-undangan.<br />
<br />
Bagian Kedua<br />
Pembuktian<br />
<br />
Pasal 96<br />
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak<br />
pidana lingkungan hidup terdiri atas:<br />
a. keterangan saksi;<br />
b. keterangan ahli;<br />
c. surat;<br />
d. petunjuk; <br />
e. keterangan terdakwa; dan/atau<br />
f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang<br />
diatur dalam peraturan perundang-undangan. <br />
<br />
BAB XV<br />
KETENTUAN PIDANA<br />
<br />
Pasal 97<br />
Tindak pidana dalam undang-undang ini<br />
merupakan kejahatan.<br />
Pasal 98 . . .<br />
<br />
<br />
- 61 -<br />
Pasal 98<br />
(1) Setiap orang yang dengan sengaja<br />
melakukan perbuatan yang<br />
mengakibatkan dilampauinya baku mutu<br />
udara ambien, baku mutu air, baku mutu<br />
air laut, atau kriteria baku kerusakan<br />
lingkungan hidup, dipidana dengan<br />
pidana penjara paling singkat 3 (tiga)<br />
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun<br />
dan denda paling sedikit<br />
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan<br />
paling banyak Rp10.000.000.000,00<br />
(sepuluh miliar rupiah).<br />
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka<br />
dan/atau bahaya kesehatan manusia,<br />
dipidana dengan pidana penjara paling<br />
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12<br />
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit<br />
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)<br />
dan paling banyak Rp12.000.000.000,00<br />
(dua belas miliar rupiah).<br />
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka<br />
berat atau mati, dipidana dengan pidana<br />
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan<br />
paling lama 15 (lima belas) tahun dan<br />
denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00<br />
(lima miliar rupiah) dan paling banyak<br />
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar<br />
rupiah).<br />
<br />
Pasal 99<br />
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya<br />
mengakibatkan dilampauinya baku mutu<br />
udara ambien, baku mutu air, baku mutu<br />
air laut, atau kriteria baku kerusakan<br />
lingkungan hidup, dipidana dengan<br />
pidana penjara paling singkat 1 (satu)<br />
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan<br />
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00<br />
(satu miliar rupiah) dan paling banyak<br />
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).<br />
(2) Apabila . . .<br />
<br />
<br />
- 62 -<br />
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka<br />
dan/atau bahaya kesehatan manusia,<br />
dipidana dengan pidana penjara paling<br />
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6<br />
(enam) tahun dan denda paling sedikit<br />
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)<br />
dan paling banyak Rp6.000.000.000,00<br />
(enam miliar rupiah).<br />
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka<br />
berat atau mati, dipidana dengan pidana<br />
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan<br />
paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda<br />
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga<br />
miliar rupiah) dan paling banyak<br />
Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar<br />
rupiah).<br />
<br />
Pasal 100<br />
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu<br />
air limbah, baku mutu emisi, atau baku<br />
mutu gangguan dipidana, dengan pidana<br />
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan<br />
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00<br />
(tiga miliar rupiah).<br />
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (1) hanya dapat dikenakan<br />
apabila sanksi administratif yang telah<br />
dijatuhkan tidak dipatuhi atau<br />
pelanggaran dilakukan lebih dari satu<br />
kali.<br />
Pasal 101<br />
Setiap orang yang melepaskan dan/atau<br />
mengedarkan produk rekayasa genetik ke<br />
media lingkungan hidup yang bertentangan<br />
dengan peraturan perundang-undangan atau<br />
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan<br />
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun<br />
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling<br />
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)<br />
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga<br />
miliar rupiah). <br />
Pasal 102 . . .<br />
<br />
<br />
- 63 -<br />
<br />
Pasal 102<br />
Setiap orang yang melakukan pengelolaan<br />
limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana<br />
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling<br />
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit<br />
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan<br />
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar<br />
rupiah).<br />
<br />
Pasal 103<br />
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan<br />
tidak melakukan pengelolaan sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan<br />
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan<br />
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling<br />
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)<br />
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga<br />
miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 104<br />
Setiap orang yang melakukan dumping limbah<br />
dan/atau bahan ke media lingkungan hidup<br />
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal<br />
60, dipidana dengan pidana penjara paling<br />
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak<br />
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 105<br />
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam<br />
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)<br />
huruf c dipidana dengan pidana penjara paling<br />
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12<br />
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit<br />
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan<br />
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas<br />
miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 106 . . .<br />
<br />
<br />
- 64 -<br />
Pasal 106<br />
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke<br />
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69<br />
ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana<br />
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan<br />
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda<br />
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar<br />
rupiah) dan paling banyak<br />
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar<br />
rupiah).<br />
<br />
Pasal 107<br />
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang<br />
menurut peraturan perundang–undangan ke<br />
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69<br />
ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara<br />
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama<br />
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit<br />
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan<br />
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima<br />
belas miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 108<br />
Setiap orang yang melakukan pembakaran<br />
lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69<br />
ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana<br />
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling<br />
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling<br />
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)<br />
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00<br />
(sepuluh miliar rupiah).<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 109 . . .<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
- 65 -<br />
Pasal 109<br />
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau<br />
kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1),<br />
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1<br />
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan<br />
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu<br />
miliar rupiah) dan paling banyak<br />
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 110<br />
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa<br />
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)<br />
huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling<br />
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak<br />
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 111<br />
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang<br />
menerbitkan izin lingkungan tanpa<br />
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat<br />
(1) dipidana dengan pidana penjara paling<br />
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling<br />
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar<br />
rupiah).<br />
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau<br />
kegiatan yang menerbitkan izin usaha<br />
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi<br />
dengan izin lingkungan sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)<br />
dipidana dengan pidana penjara paling<br />
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling<br />
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar<br />
rupiah).<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 112 . . .<br />
<br />
<br />
- 66 -<br />
Pasal 112<br />
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja<br />
tidak melakukan pengawasan terhadap<br />
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang<br />
mengakibatkan terjadinya pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan yang<br />
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,<br />
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1<br />
(satu) tahun atau denda paling banyak<br />
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).<br />
<br />
Pasal 113<br />
Setiap orang yang memberikan informasi<br />
palsu, menyesatkan, menghilangkan<br />
informasi, merusak informasi, atau<br />
memberikan keterangan yang tidak benar yang<br />
diperlukan dalam kaitannya dengan<br />
pengawasan dan penegakan hukum yang<br />
berkaitan dengan perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j<br />
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1<br />
(satu) tahun dan denda paling banyak<br />
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 114<br />
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau<br />
kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan<br />
pemerintah dipidana dengan pidana penjara<br />
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling<br />
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).<br />
<br />
Pasal 115<br />
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,<br />
menghalang-halangi, atau menggagalkan<br />
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan<br />
hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri<br />
sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama<br />
1 (satu) tahun dan denda paling banyak<br />
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).<br />
Pasal 116 . . .<br />
<br />
<br />
- 67 -<br />
<br />
Pasal 116<br />
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup<br />
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama<br />
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi<br />
pidana dijatuhkan kepada:<br />
a. badan usaha; dan/atau <br />
b. orang yang memberi perintah untuk<br />
melakukan tindak pidana tersebut atau<br />
orang yang bertindak sebagai pemimpin<br />
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.<br />
<br />
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan<br />
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan<br />
lain yang bertindak dalam lingkup kerja<br />
badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan<br />
terhadap pemberi perintah atau pemimpin<br />
dalam tindak pidana tersebut tanpa<br />
memperhatikan tindak pidana tersebut<br />
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. <br />
<br />
Pasal 117<br />
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi<br />
perintah atau pemimpin tindak pidana<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)<br />
huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa<br />
pidana penjara dan denda diperberat dengan<br />
sepertiga. <br />
<br />
Pasal 118<br />
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi<br />
pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang<br />
diwakili oleh pengurus yang berwenang<br />
mewakili di dalam dan di luar pengadilan<br />
sesuai dengan peraturan perundang-undangan<br />
selaku pelaku fungsional. <br />
<br />
Pasal 119 . . .<br />
<br />
<br />
- 68 -<br />
Pasal 119<br />
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam<br />
Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat<br />
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata<br />
tertib berupa:<br />
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari<br />
tindak pidana; <br />
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat<br />
usaha dan/atau kegiatan; <br />
c. perbaikan akibat tindak pidana; <br />
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan<br />
tanpa hak; dan/atau<br />
e. penempatan perusahaan di bawah<br />
pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. <br />
<br />
Pasal 120<br />
(1) Dalam melaksanakan ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119<br />
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,<br />
jaksa berkoordinasi dengan instansi yang<br />
bertanggung jawab di bidang perlindungan<br />
dan pengelolaan lingkungan hidup untuk<br />
melaksanakan eksekusi. <br />
(2) Dalam melaksanakan ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119<br />
huruf e, Pemerintah berwenang untuk<br />
mengelola badan usaha yang dijatuhi<br />
sanksi penempatan di bawah pengampuan<br />
untuk melaksanakan putusan pengadilan<br />
yang telah berkekuatan hukum tetap. <br />
<br />
<br />
BAB XVI<br />
KETENTUAN PERALIHAN<br />
<br />
<br />
Pasal 121<br />
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,<br />
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,<br />
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah<br />
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi<br />
belum memiliki dokumen amdal wajib<br />
menyelesaikan audit lingkungan hidup. <br />
(2) Pada . . .<br />
<br />
<br />
- 69 -<br />
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,<br />
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,<br />
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah<br />
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi<br />
belum memiliki UKL-UPL wajib membuat<br />
dokumen pengelolaan lingkungan hidup. <br />
<br />
Pasal 122<br />
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,<br />
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,<br />
setiap penyusun amdal wajib memiliki<br />
sertifikat kompetensi penyusun amdal. <br />
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,<br />
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,<br />
setiap auditor lingkungan hidup wajib<br />
memiliki sertifikat kompetensi auditor<br />
lingkungan hidup.<br />
<br />
Pasal 123<br />
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan<br />
hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri,<br />
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan<br />
kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam<br />
izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak<br />
Undang-Undang ini ditetapkan. <br />
<br />
BAB XVII<br />
KETENTUAN PENUTUP<br />
<br />
Pasal 124<br />
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,<br />
semua peraturan perundang-undangan yang<br />
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran<br />
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor<br />
68, Tambahan Lembaran Negara Republik<br />
Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap<br />
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum<br />
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan<br />
Undang-Undang ini.<br />
Pasal 125 . . .<br />
<br />
<br />
- 70 -<br />
<br />
<br />
Pasal 125<br />
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997<br />
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup<br />
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun<br />
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara<br />
Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan<br />
dinyatakan tidak berlaku. <br />
<br />
<br />
Pasal 126<br />
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan<br />
dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling<br />
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 127<br />
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal<br />
diundangkan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Agar . . .<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
- 71 -<br />
Agar setiap orang mengetahuinya,<br />
memerintahkan pengundangan Undang-Undang<br />
ini dengan penempatannya dalam Lembaran<br />
Negara Republik Indonesia.<br />
<br />
Disahkan di Jakarta<br />
pada tanggal 3 Oktober 2009<br />
<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />
<br />
ttd<br />
<br />
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO<br />
<br />
Diundangkan di Jakarta<br />
pada tanggal 3 Oktober 2009<br />
<br />
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA <br />
REPUBLIK INDONESIA,<br />
<br />
ttd<br />
<br />
ANDI MATTALATTA<br />
<br />
<br />
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Salinan sesuai dengan aslinya<br />
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA<br />
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan<br />
Bidang Perekonomian dan Industri,<br />
<br />
<br />
<br />
SETIO SAPTO NUGROHO<br />
PENJELASAN<br />
ATAS<br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 32 TAHUN 2009<br />
TENTANG<br />
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP<br />
<br />
<br />
I. UMUM <br />
<br />
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945<br />
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat<br />
merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga<br />
negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan<br />
seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk<br />
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar<br />
lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan<br />
penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup<br />
lain. <br />
<br />
2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang<br />
antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan<br />
cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi<br />
nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai<br />
terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang<br />
besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati<br />
dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu<br />
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi<br />
antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan<br />
wawasan Nusantara.<br />
<br />
Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap<br />
dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya<br />
produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya<br />
hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya<br />
permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan<br />
punahnya keanekaragaman hayati. <br />
<br />
<br />
<br />
Ketersedian . . .<br />
<br />
<br />
- 2 -<br />
<br />
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun<br />
kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan<br />
membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat.<br />
Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya<br />
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat<br />
mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas<br />
lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban<br />
sosial.<br />
<br />
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi<br />
dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab<br />
negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu,<br />
pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan<br />
kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan<br />
berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,<br />
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap<br />
kearifan lokal dan kearifan lingkungan.<br />
<br />
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut<br />
dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu<br />
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan<br />
konsekuen dari pusat sampai ke daerah.<br />
<br />
3. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan<br />
seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai<br />
konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program<br />
pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan<br />
pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan<br />
pembangunan berkelanjutan. <br />
<br />
Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah<br />
daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis<br />
(KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan<br />
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam<br />
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,<br />
dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus<br />
dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program<br />
pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS<br />
menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah<br />
terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program<br />
pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan<br />
rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang<br />
telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan<br />
hidup tidak diperbolehkan lagi. <br />
<br />
4. Ilmu . . .<br />
<br />
<br />
- 3 -<br />
4. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas<br />
hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk<br />
berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan<br />
berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya<br />
sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi<br />
lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup<br />
manusia serta makhluk hidup lain.<br />
<br />
Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi<br />
masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara<br />
lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang<br />
apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat<br />
mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan<br />
hidup manusia serta makhluk hidup lain.<br />
<br />
Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun<br />
beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik.<br />
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari<br />
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar<br />
wilayah Indonesia.<br />
<br />
Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai<br />
konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya<br />
pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak<br />
lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif<br />
pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui<br />
peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan<br />
amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan<br />
diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta<br />
dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang<br />
amdal.<br />
<br />
Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam<br />
memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum<br />
diperoleh izin usaha.<br />
<br />
5. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak<br />
lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan<br />
mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan<br />
perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan<br />
hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa<br />
penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten<br />
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang<br />
sudah terjadi. <br />
<br />
Sehubungan . . .<br />
<br />
<br />
- 4 -<br />
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu<br />
sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian<br />
hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan<br />
sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.<br />
<br />
Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan<br />
hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun<br />
hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi<br />
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan <br />
dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan<br />
hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan<br />
kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak<br />
gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain<br />
akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan<br />
kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa<br />
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan. <br />
<br />
6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini<br />
memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping<br />
maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi<br />
pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum<br />
pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan<br />
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum<br />
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum<br />
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan<br />
hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas<br />
ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil<br />
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu<br />
air limbah, emisi, dan gangguan. <br />
<br />
7. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun<br />
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam<br />
Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata<br />
kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses<br />
perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan<br />
dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek<br />
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
8. Selain . . .<br />
<br />
<br />
- 5 -<br />
8. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:<br />
a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;<br />
b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;<br />
c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;<br />
d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen<br />
kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu<br />
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan<br />
hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan<br />
upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan,<br />
instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan<br />
perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,<br />
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko<br />
lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan<br />
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;<br />
e. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen<br />
pengendalian;<br />
f. pendayagunaan pendekatan ekosistem;<br />
g. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi<br />
perkembangan lingkungan global;<br />
h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi,<br />
akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan<br />
hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup;<br />
i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana<br />
secara lebih jelas;<br />
j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan<br />
k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan<br />
hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.<br />
<br />
9. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada<br />
Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan<br />
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi<br />
lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi<br />
kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah<br />
dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan<br />
Lingkungan Hidup. <br />
Oleh . . .<br />
<br />
<br />
- 6 -<br />
<br />
Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja<br />
berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu<br />
organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi<br />
pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi<br />
dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi<br />
kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.<br />
Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang<br />
lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk<br />
kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas<br />
pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan<br />
pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang<br />
memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan<br />
belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah. <br />
<br />
<br />
<br />
II. PASAL DEMI PASAL<br />
Pasal 1<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 2<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara”<br />
adalah:<br />
a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam<br />
akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya<br />
bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik<br />
generasi masa kini maupun generasi masa depan. <br />
b. negara menjamin hak warga negara atas<br />
lingkungan hidup yang baik dan sehat.<br />
c. negara mencegah dilakukannya kegiatan<br />
pemanfaatan sumber daya alam yang<br />
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan<br />
keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul<br />
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi<br />
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu<br />
generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya<br />
dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas<br />
lingkungan hidup. <br />
Huruf c . . .<br />
<br />
<br />
- 7 -<br />
<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan<br />
keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan<br />
hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti<br />
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan<br />
serta pelestarian ekosistem. <br />
<br />
Huruf d<br />
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah<br />
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau<br />
menyinergikan berbagai komponen terkait. <br />
<br />
Huruf e<br />
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa<br />
segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang<br />
dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya<br />
alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan<br />
kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras<br />
dengan lingkungannya. <br />
<br />
Huruf f<br />
Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah<br />
bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha<br />
dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan <br />
ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan<br />
alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi<br />
atau menghindari ancaman terhadap pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. <br />
<br />
Huruf g<br />
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus<br />
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap<br />
warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi,<br />
maupun lintas gender. <br />
<br />
Huruf h<br />
Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa <br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus<br />
memperhatikan karakteristik sumber daya alam,<br />
ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat<br />
setempat, dan kearifan lokal.<br />
<br />
Huruf i . . .<br />
<br />
<br />
- 8 -<br />
Huruf i<br />
Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati”<br />
adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk<br />
mempertahankan keberadaan, keragaman, dan<br />
keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas<br />
sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani<br />
yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya<br />
secara keseluruhan membentuk ekosistem. <br />
<br />
Huruf j<br />
Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar”<br />
adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha<br />
dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib<br />
menanggung biaya pemulihan lingkungan. <br />
<br />
Huruf k<br />
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa<br />
setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan<br />
aktif dalam proses pengambilan keputusan dan<br />
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.<br />
<br />
Huruf l<br />
Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah<br />
bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang<br />
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.<br />
<br />
Huruf m<br />
Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan<br />
yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,<br />
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. <br />
<br />
Huruf n<br />
Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah<br />
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan<br />
mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan<br />
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah<br />
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. <br />
<br />
<br />
Pasal 3 . . .<br />
<br />
<br />
- 9 -<br />
Pasal 3<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 4<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 5 <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 6<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 7<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 8<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 9<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 10<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf d<br />
Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat<br />
yang diakui oleh DPRD.<br />
<br />
Huruf e . . .<br />
<br />
<br />
- 10 -<br />
Huruf e <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf f<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 11<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 12<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 13<br />
Ayat (1)<br />
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini,<br />
antara lain pengendalian:<br />
a. pencemaran air, udara, dan laut; dan<br />
b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat<br />
perubahan iklim.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 14<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 15 . . .<br />
<br />
<br />
- 11 -<br />
Pasal 15<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “wilayah” adalah ruang yang<br />
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur<br />
terkait yang batas dan sistemnya ditentukan<br />
berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek<br />
fungsional.<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf b <br />
Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang<br />
dimaksud meliputi:<br />
a. perubahan iklim; <br />
b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan<br />
keanekaragaman hayati;<br />
c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah<br />
bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau<br />
kebakaran hutan dan lahan;<br />
d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya<br />
alam; <br />
e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan<br />
dan/atau lahan; <br />
f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau<br />
terancamnya keberlanjutan penghidupan<br />
sekelompok masyarakat; dan/atau<br />
g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan<br />
keselamatan manusia.<br />
<br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 16<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 17<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 18<br />
Ayat (1)<br />
Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi,<br />
dan konsultasi publik.<br />
Ayat (2) . . .<br />
<br />
<br />
- 12 -<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 19<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 20<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a <br />
Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah<br />
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,<br />
energi, atau komponen yang ada atau harus<br />
ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang<br />
keberadaannya di dalam air. <br />
<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah”<br />
adalah ukuran batas atau kadar polutan yang<br />
ditenggang untuk dimasukkan ke media air .<br />
<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “baku mutu air laut”<br />
adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,<br />
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus<br />
ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang<br />
keberadaannya di dalam air laut. <br />
<br />
Huruf d<br />
Yang dimaksud dengan “baku mutu udara<br />
ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat,<br />
energi, dan/atau komponen yang seharusnya<br />
ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang<br />
keberadaannya dalam udara ambien.<br />
<br />
Huruf e<br />
Yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah<br />
ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang<br />
untuk dimasukkan ke media udara.<br />
<br />
<br />
Huruf f . . .<br />
<br />
<br />
- 13 -<br />
Huruf f<br />
Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan”<br />
adalah ukuran batas unsur pencemar yang<br />
ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur<br />
getaran, kebisingan, dan kebauan. <br />
<br />
Huruf g<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 21<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “produksi biomassa”<br />
adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya<br />
tanah untuk menghasilkan biomassa. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan<br />
tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran<br />
batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat<br />
ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi<br />
biomassa. <br />
<br />
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi<br />
biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan<br />
budi daya dan hutan. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Huruf b . . .<br />
<br />
<br />
- 14 -<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan<br />
terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan<br />
fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat<br />
ditenggang. <br />
<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “kerusakan lingkungan<br />
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan<br />
dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan<br />
pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan<br />
dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang<br />
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau<br />
lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha<br />
dan/atau kegiatan.<br />
<br />
Huruf d<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf f<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf g<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf h<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 22<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 23<br />
Ayat (1) <br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf b . . .<br />
<br />
<br />
- 15 -<br />
<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf d<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf f<br />
Jasad renik dalam huruf ini termasuk produk<br />
rekayasa genetik.<br />
<br />
Huruf g<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf h<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf i<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 24<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 25<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf d<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf e . . .<br />
<br />
<br />
- 16 -<br />
<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf f<br />
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan<br />
hidup dimaksudkan untuk menghindari,<br />
meminimalkan, memitigasi, dan/atau<br />
mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau<br />
kegiatan.<br />
<br />
<br />
Pasal 26<br />
Ayat (1)<br />
Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses<br />
pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka<br />
menjaring saran dan tanggapan.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 27<br />
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain lembaga<br />
penyusun amdal atau konsultan. <br />
<br />
<br />
Pasal 28<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 29<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 30<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 31 . . .<br />
<br />
<br />
- 17 -<br />
Pasal 31<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 32<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 33<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 34<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 35<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 36<br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Rekomendasi UKL-UPL dinilai oleh tim teknis instansi<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 37<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 38<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 39 . . .<br />
<br />
<br />
- 18 -<br />
Pasal 39<br />
Ayat (1) <br />
Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan<br />
atas keterbukaan informasi. Pengumuman tersebut<br />
memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang<br />
belum menggunakan kesempatan dalam prosedur<br />
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses<br />
pengambilan keputusan izin.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 40<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan<br />
dalam ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama<br />
lain seperti izin operasi dan izin konstruksi. <br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain,<br />
karena kepemilikan beralih, perubahan teknologi,<br />
penambahan atau pengurangan kapasitas produksi,<br />
dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang<br />
berpindah tempat. <br />
<br />
<br />
Pasal 41<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 42<br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “instrumen ekonomi dalam<br />
perencanaan pembangunan” adalah upaya<br />
internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam<br />
perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan<br />
dan kegiatan ekonomi. <br />
<br />
<br />
Huruf b . . .<br />
<br />
<br />
- 19 -<br />
Huruf b <br />
Yang dimaksud dengan “pendanaan lingkungan”<br />
adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan<br />
dan pengelolaan dana yang digunakan bagi<br />
pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal<br />
dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah,<br />
dan lainnya. <br />
<br />
Huruf c<br />
Insentif merupakan upaya memberikan dorongan<br />
atau daya tarik secara moneter dan/atau<br />
nonmoneter kepada setiap orang ataupun<br />
Pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan<br />
kegiatan yang berdampak positif pada cadangan<br />
sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan<br />
hidup. <br />
<br />
Disinsentif merupakan pengenaan beban atau<br />
ancaman secara moneter dan/atau nonmoneter<br />
kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan<br />
pemerintah daerah agar mengurangi kegiatan yang<br />
berdampak negatif pada cadangan sumber daya<br />
alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
Pasal 43<br />
Ayat (1)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya alam”<br />
adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya<br />
alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik<br />
maupun dalam nilai moneter. <br />
<br />
Huruf b <br />
Yang dimaksud dengan “produk domestik bruto”<br />
adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi<br />
oleh suatu negara pada periode tertentu. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan “produk domestik regional<br />
bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang<br />
diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Huruf c . . .<br />
<br />
<br />
- 20 -<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “mekanisme<br />
kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup<br />
antardaerah” adalah cara-cara kompensasi/imbal<br />
yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau<br />
pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa<br />
lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan<br />
hidup. <br />
<br />
Huruf d<br />
Yang dimaksud dengan “internalisasi biaya<br />
lingkungan hidup” adalah memasukkan biaya<br />
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup<br />
dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu<br />
usaha dan/atau kegiatan. <br />
<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “dana jaminan pemulihan<br />
lingkungan hidup” adalah dana yang disiapkan oleh<br />
suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan<br />
kualitas lingkungan hidup yang rusak karena<br />
kegiatannya. <br />
<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan “dana penanggulangan”<br />
adalah dana yang digunakan untuk menanggulangi<br />
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup<br />
yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan. <br />
<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “dana amanah/bantuan”<br />
adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan<br />
donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan<br />
hidup.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “pengadaan barang dan jasa<br />
ramah lingkungan hidup” adalah pengadaaan yang<br />
memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel<br />
ramah lingkungan hidup.<br />
<br />
<br />
<br />
Huruf b . . .<br />
<br />
<br />
- 21 -<br />
Huruf b <br />
Yang dimaksud dengan “pajak lingkungan hidup”<br />
adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah<br />
daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan<br />
sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air<br />
bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak<br />
sarang burung walet. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan “retribusi lingkungan hidup”<br />
adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah<br />
daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan<br />
sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti<br />
retribusi pengolahan air limbah. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan “subsidi lingkungan hidup”<br />
adalah kemudahan atau pengurangan beban yang<br />
diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya<br />
berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup.<br />
<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “sistem lembaga keuangan<br />
ramah lingkungan hidup” adalah sistem lembaga<br />
keuangan yang menerapkan persyaratan<br />
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup<br />
dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem<br />
lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan<br />
nonbank. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan “pasar modal ramah<br />
lingkungan hidup” adalah pasar modal yang<br />
menerapkan persyaratan perlindungan dan<br />
pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang<br />
masuk pasar modal atau perusahaan terbuka,<br />
seperti penerapan persyaratan audit lingkungan<br />
hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di<br />
pasar modal.<br />
<br />
Huruf d <br />
Yang dimaksud dengan “perdagangan izin<br />
pembuangan limbah dan/atau emisi” adalah jual<br />
beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan<br />
untuk dibuang ke media lingkungan hidup<br />
antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. <br />
<br />
<br />
<br />
Huruf e . . .<br />
<br />
<br />
- 22 -<br />
Huruf e<br />
Yang dimaksud dengan “pembayaran jasa<br />
lingkungan hidup” adalah pembayaran/imbal yang<br />
diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup<br />
kepada penyedia jasa lingkungan hidup.<br />
<br />
Huruf f<br />
Yang dimaksud dengan “asuransi lingkungan hidup”<br />
adalah asuransi yang memberikan perlindungan<br />
pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
Huruf g<br />
Yang dimaksud dengan “sistem label ramah<br />
lingkungan hidup” adalah pemberian tanda atau<br />
label kepada produk-produk yang ramah lingkungan<br />
hidup. <br />
<br />
Huruf h<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas<br />
<br />
<br />
Pasal 44 <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 45<br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan<br />
hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan<br />
kawasan koservasi dan penurunan tingkat pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. <br />
<br />
<br />
Pasal 46 <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 47 . . .<br />
<br />
<br />
- 23 -<br />
Pasal 47<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “analisis risiko lingkungan” adalah<br />
prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji<br />
pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan<br />
pembersihan (clean up) limbah B3. <br />
<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Dalam ketentuan ini “pengkajian risiko” meliputi<br />
seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya,<br />
penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan<br />
penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang<br />
tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan<br />
kesehatan manusia maupun lingkungan hidup.<br />
<br />
Huruf b<br />
Dalam ketentuan ini “pengelolaan risiko” meliputi<br />
evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan<br />
pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko,<br />
pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan<br />
pengimplementasian tindakan yang dipilih.<br />
<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “komunikasi risiko” adalah<br />
proses interaktif dari pertukaran informasi dan<br />
pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi<br />
yang berkenaan dengan risiko.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 48<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 49<br />
Ayat (1) <br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “usaha dan/atau kegiatan<br />
tertentu yang berisiko tinggi” adalah usaha dan/atau<br />
kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau<br />
keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar<br />
dan luas terhadap kesehatan manusia dan<br />
lingkungan hidup seperti petrokimia, kilang minyak<br />
dan gas bumi, serta pembangkit listrik tenaga<br />
nuklir. <br />
Dokumen . . .<br />
<br />
<br />
- 24 -<br />
Dokumen audit lingkungan hidup memuat: <br />
a. informasi yang meliputi tujuan dan proses<br />
pelaksanaan audit; <br />
b. temuan audit;<br />
c. kesimpulan audit; dan<br />
d. data dan informasi pendukung.<br />
<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 50<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 51<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 52<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 53<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 54<br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
<br />
Huruf b . . .<br />
<br />
<br />
<br />
- 25 -<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan ”remediasi” adalah upaya<br />
pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk<br />
memperbaiki mutu lingkungan hidup. <br />
<br />
Huruf c <br />
Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah upaya<br />
pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan<br />
manfaat lingkungan hidup termasuk upaya<br />
pencegahan kerusakan lahan, memberikan<br />
perlindungan, dan memperbaiki ekosistem. <br />
<br />
Huruf d<br />
Yang dimaksud dengan ”restorasi” adalah upaya<br />
pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau<br />
bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana<br />
semula. <br />
<br />
Huruf e <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 55<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 56<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 57 <br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup”<br />
adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian<br />
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya<br />
penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang<br />
disebabkan oleh perbuatan manusia. <br />
<br />
Huruf a<br />
Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain,<br />
konservasi sumber daya air, ekosistem hutan,<br />
ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan<br />
gambut, dan ekosistem karst.<br />
<br />
Huruf b . . .<br />
<br />
<br />
- 26 -<br />
Huruf b<br />
Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber<br />
daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang<br />
dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan. <br />
<br />
Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya<br />
alam, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau<br />
pemerintah kabupaten/kota dan perseorangan dapat<br />
membangun:<br />
a. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan<br />
hutan;<br />
b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30%<br />
dari luasan pulau/kepulauan; dan/atau<br />
c. menanam dan memelihara pohon di luar<br />
kawasan hutan, khususnya tanaman langka.<br />
<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan ”pengawetan sumber daya<br />
alam” adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan<br />
keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya.<br />
<br />
<br />
Huruf c <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan ”mitigasi perubahan iklim”<br />
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam<br />
upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca<br />
sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak<br />
perubahan iklim. <br />
<br />
<br />
Yang . . .<br />
<br />
<br />
- 27 -<br />
Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim”<br />
adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan<br />
kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap<br />
perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan<br />
kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan<br />
akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang<br />
ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat<br />
dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat<br />
perubahan iklim dapat diatasi.<br />
Huruf b <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Pasal 58<br />
Ayat (1) <br />
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan<br />
upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko<br />
terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya<br />
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,<br />
mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk<br />
menimbulkan dampak negatif.<br />
<br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Pasal 59<br />
Ayat (1) <br />
Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan<br />
yang mencakup pengurangan, penyimpanan,<br />
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau<br />
pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. <br />
<br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (3) <br />
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan usaha<br />
yang melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah<br />
mendapatkan izin.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5) . . .<br />
<br />
<br />
- 28 -<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (6)<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (7)<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 60<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 61<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 62<br />
Ayat (1)<br />
Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain,<br />
keragaman karakter ekologis, sebaran penduduk,<br />
sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 63<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 64<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 65<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Ayat (2) . . .<br />
<br />
<br />
- 29 -<br />
Ayat (2)<br />
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu<br />
konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan<br />
lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas<br />
keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan<br />
meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam<br />
pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka<br />
peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan<br />
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.<br />
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain<br />
yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya<br />
memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti<br />
dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup,<br />
laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup,<br />
baik pemantauan penaatan maupun pemantauan<br />
perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata<br />
ruang.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Ayat (6) <br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 66<br />
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau<br />
pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan hidup. <br />
<br />
Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan<br />
pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau<br />
gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian<br />
peradilan. <br />
<br />
<br />
Pasal 67 . . .<br />
<br />
<br />
<br />
- 30 -<br />
Pasal 67<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 68<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 69<br />
Ayat (1)<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf b<br />
B3 yang dilarang dalam ketentuan ini, antara lain,<br />
DDT, PCBs, dan dieldrin. <br />
<br />
Huruf c<br />
Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi<br />
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.<br />
<br />
Huruf d<br />
Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor. <br />
<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf f<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf g<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf h<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf i<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
Huruf j<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ayat (2) . . .<br />
<br />
<br />
- 31 -<br />
Ayat (2) <br />
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah<br />
melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan<br />
maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami<br />
tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat<br />
bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah<br />
sekelilingnya.<br />
<br />
<br />
Pasal 70<br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf b<br />
Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini<br />
termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal. <br />
<br />
<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 71<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 72<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 73<br />
Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah<br />
tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran<br />
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan<br />
menimbulkan keresahan masyarakat.<br />
<br />
<br />
Pasal 74<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 75 . . .<br />
<br />
<br />
- 32 -<br />
<br />
Pasal 75<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 76<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 77<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 78<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 79<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 80<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “ancaman yang sangat<br />
serius” adalah suatu keadaan yang berpotensi<br />
sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan<br />
banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat<br />
ditunda.<br />
<br />
Huruf b <br />
Cukup jelas.<br />
Huruf c <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 81<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 82<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 83 . . .<br />
<br />
<br />
- 33 -<br />
Pasal 83<br />
Cukup Jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 84<br />
Ayat (1)<br />
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi<br />
hak keperdataan para pihak yang bersengketa.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah<br />
terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa<br />
lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.<br />
<br />
<br />
Pasal 85<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 86<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 87<br />
Ayat (1)<br />
Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang<br />
ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas<br />
pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti<br />
rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat<br />
pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan<br />
hukum tertentu, misalnya perintah untuk:<br />
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah<br />
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan<br />
hidup yang ditentukan;<br />
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau<br />
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab<br />
timbulnya pencemaran dan/atau perusakan<br />
lingkungan hidup.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Ayat (3) . . .<br />
<br />
<br />
- 34 -<br />
Ayat (3)<br />
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari<br />
keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk<br />
melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian<br />
fungsi lingkungan hidup.<br />
<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 88<br />
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau<br />
strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu<br />
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran<br />
ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam<br />
gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada<br />
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan<br />
terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut<br />
Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.<br />
<br />
Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu”<br />
adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha<br />
dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia<br />
dana lingkungan hidup.<br />
<br />
<br />
Pasal 89<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 90<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup”<br />
adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau<br />
kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak<br />
milik privat. <br />
Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan<br />
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta<br />
pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak<br />
akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap<br />
lingkungan hidup. <br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 91 . . .<br />
<br />
<br />
- 35 -<br />
Pasal 91<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 92<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 93<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 94<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (3)<br />
Yang dimaksud dengan koordinasi adalah tindakan<br />
berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil,<br />
sarana, dan prasarana yang dibutuhkan dalam<br />
penyidikan. <br />
<br />
Ayat (4)<br />
Pemberitahuan dalam Pasal ini bukan merupakan<br />
pemberitahuan dimulainya penyidikan, melainkan untuk<br />
mempertegas wujud koordinasi antara pejabat penyidik<br />
pegawai negeri sipil dan penyidik pejabat polisi Negara<br />
Republik Indonesia. <br />
<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Ayat (6)<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 95<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 96<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf b . . .<br />
<br />
<br />
- 36 -<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf d<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Huruf f<br />
Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi,<br />
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau<br />
disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau<br />
yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data,<br />
rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat,<br />
dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau<br />
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di<br />
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau<br />
yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada<br />
tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau<br />
sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi<br />
yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau<br />
dibaca. <br />
<br />
<br />
Pasal 97<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 98<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 99<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 100<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 101<br />
Yang dimaksud dengan “melepaskan produk rekayasa genetik”<br />
adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk<br />
rekayasa genetik menjadi varietas unggul dan dapat<br />
disebarluaskan setelah memenuhi persyaratan berdasarkan<br />
peraturan perundang-undangan.<br />
Yang . . .<br />
<br />
<br />
- 37 -<br />
<br />
Yang dimaksud dengan “mengedarkan produk rekayasa genetik” <br />
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka<br />
penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada<br />
masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak. <br />
<br />
<br />
Pasal 102<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 103<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 104<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 105<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 106<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 107<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 108 <br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 109<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 110<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 111<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 112<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 113 . . .<br />
<br />
<br />
- 38 -<br />
<br />
Pasal 113<br />
Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk<br />
dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar. <br />
<br />
<br />
Pasal 114<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 115<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 116<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 117<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 118<br />
Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini<br />
adalah badan usaha dan badan hukum.<br />
<br />
Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha<br />
dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan<br />
badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga<br />
pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka<br />
yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan<br />
menerima tindakan pelaku fisik tersebut. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini<br />
termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup<br />
melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik,<br />
dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya<br />
tindak pidana tersebut.<br />
<br />
<br />
Pasal 119<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 120<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
Pasal 121 . . .<br />
<br />
<br />
- 39 -<br />
Pasal 121<br />
Cukup jelas. <br />
<br />
<br />
Pasal 122<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 123<br />
Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3,<br />
izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air<br />
limbah ke sumber air.<br />
<br />
<br />
Pasal 124<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 125<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 126<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
Pasal 127<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059<br />
<br />
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/12605009130024337356noreply@blogger.com0